Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Oleh: Dr. Iwan Irawan

Wilayah Indonesia sangatlah luas dan masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai keberagaman agama, adat istiadat, budaya, dan lain-lain. Otonomi daerah diperlukan agar daerah-daerah di Indonesia dapat mengusahakan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Sebab, setiap daerah memiliki kondisi sosial budaya dan lingkungan yang berbeda-beda sehingga penanganan yang diperlukan dalam setiap daerah pun berbeda.

Otonomi daerah di Indonesia pertama kali diatur dalam UU No. 1 tahun 1945. Undang-undang ini mengatur tentang Komite Nasional Daerah yang merujuk pada Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Daerah diberikan keleluasaan yang besar untuk mengatur kepentingan daerahnya tersendiri. Akan tetapi, urusan yang diserahkan kepada daerah tidak diperinci dengan detail. Kemudian, diterbitkan UU No. 22 tahun 1948 yang mulai menetapkan urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah. Setelah itu, diterbitkan UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1948. Keleluasaan Badan Perwakilan Rakyat Daerah dan kepala daerah dalam mengatur pemerintahan daerah berakhir sejak diterbitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan Penetapan Presiden no. 5 tahun 1960. Penpres tersebut menjadikan kepala daerah sebagai penguasa tunggal di daerah. Kemudian, diterbitkan UU No. 18 tahun 1965 yang berprinsip otonomi riil, tetapi implementasinya tidak efektif karena instabilitas kondisi politik. Setelah itu, diterbitkan UU No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi daerah bukan lagi otonomi yang seluas-luasnya, tetapi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebab, prinsip otonomi yang seluas-luasnya dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang mendasari desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah. Akan tetapi, wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah menjadi sedikit. Selain itu, pelaksanaan otonomi daerah pada masa Orde Baru dinilai masih terlalu timpang kepada pemerintahan pusat. Hal ini ditunjukkan melalui pasal 15 dan 16 dari Undang-Undang No. 5 tahun 1974 yang menyatakan salah satu dari kedua kepala daerah yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri Dengan demikian, kepala daerah bertanggung jawab terhadap presiden melalui Menteri Dalam Negeri, bukan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merepresentasikan rakyat daerah.

Otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak kemerdekaan hingga masa Orde Baru tidak dapat berfokus sepenuhnya terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga kesejahteraan ekonomi dan perkembangan kebudayaan masyarakat setempat belum terpenuhi dengan baik. Selain itu, fenomena etnosentrisme bermunculan di wilayah Indonesia sebagai wujud kekecewaan terhadap pemerintahan pusat. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak tuntutan daerah yang ingin memekarkan dirinya selama era Orde Baru. Bahkan, muncul aksi separatisme seperti di Aceh, Papua, dan Timor-timur, di mana Timor-timur melepaskan diri dari Indonesia pada tahun 2002. Menurut Surbakti (2000:9), apresiasi budaya lokal (seperti makanan, pakaian, rumah adat daerah) pada Orde Baru hanya secara simbolik, sedangkan putra daerah cenderung kurang dipercayai. Padahal, kewenangan otonomi daerah diberikan kepada daerah untuk memelihara dan mengembangkan identitas budaya lokal (Surbakti, 2000:9).

Setelah era reformasi, usaha perkembangan ekonomi melalui otonomi daerah mulai berkembang dengan baik. Hal ini dimulai dengan upaya desentralisasi fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan perkonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia (Indah, 2011). Pemerintah menerbitkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU No. 22 tahun 1999 menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah. Hal ini diperkuat oleh UU No. 25 tahun 1999 yang menjamin ketersediaan sumber-sumber fiskal bagi pemerintah daerah. Kedua undang-undang tersebut beberapa kali direvisi sehingga menghasilkan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lahirnya UU No 32 tahun 2004 mewujudkan sebuah pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Sebab, undang-undang tersebut menyatakan bahwa DPRD dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Dengan adanya pemilihan langsung, pemerintah daerah mewakili masyarakat dalam pemerintahan untuk mengusahakan yang terbaik bagi daerahnya.

Pada era Reformasi, masyarakat Indonesia mulai mengalami proses transformasi penting menuju era yang lebih demokratis (Setiawan & Hadi, 2007). Adanya upaya desentralisasi fiskal memperkuat perekonomian daerah yang secara tidak langsung turut memperkuat perekonomian nasional. Selain itu, sejak era reformasi, pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur keuangannya tersendiri sehingga daerah lebih berpeluang untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi lokalnya.

Perkembangan otonomi daerah yang membaik juga memberikan peluang kepada masyarakat daerah untuk mengangkat kebudayaan lokal untuk memperkuat jati diri bangsa. Kemajuan otonomi daerah dalam aspek budaya dapat terlihat jelas di berbagai wilayah, seperti Jawa dan Bali. Berbagai pembangunan infrastruktur terkonsentrasi di Jawa dan Bali karena daerah tersebut memiliki citra daya tarik yang kuat akan alam dan kebudayaan daerahnya. Meskipun daerah-daerah lain memiliki kebudayaan yang tak kalah menarik, otonomi daerah belum dapat mewujudkan pemerataan dalam perkembangan aspek budaya dalam tiap daerah. Hal ini karena pemerintah daerah belum dapat mengemas daya tarik kebudayaan daerah secara baik, pelayanan dalam bidang sosial budaya yang rendah, intepretasi budaya atau alam yang belum memadai, dan lain sebagainya.

Referensi:

Christia, A. M., & Ispriyarso, B. (2019). Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia. Law Reform, 15(1), 149 – 163. Diakses dari https://ejournal.undip.ac.id/index.php/lawreform/article/download/23360/pdf

Kambo, G. A. (2015). Etnisitas dalam otonomi daerah. The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(1), 1 – 8. Diakses dari http://journal.unhas.ac.id/index.php/politics/article/view/125

Nirwandar, S. (2011). Pembangunan sektor pariwisata di era otonomi daerah. Academia.edu. Hal. 4 & 8. Diakses dari https://www.academia.edu/33414055/PEMBANGUNAN_SEKTOR_PARIWISATA_DI_ERA_OTONOMI_DAERAH_Oleh_DR_SAPTA_NIRWANDAR

Safitri, S. (2016). Sejarah perkembangan otonomi daerah. Jurnal Criksetra, 5(9), 79 – 83. Diakses dari https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/view/4804

Sufianto, D. (2020). Pasang surut otonomi daerah di Indonesia. Jurnal Academia Praja, 3(2), 271 – 288. Diakses dari https://doi.org/10.36859/jap.v3i2.185

 

Iwan Irawan