Setelah Tasawuf Modern, Kini Tasawuf Progresif (bagian 4/4 tulisan)

Oleh: Sitti Aaisyah

Penghambaan kepada Allah yang mutlak dan total adalah dengan menjaga kebaikan dan keharmonisan ciptaanNya. Ini tidak lepas dari potensi manusia sebagai makhluk yang dilengkapi akal yang ditugaskan menjadi khalifah di dunia. Dengan mewujudkan akhlak yang baik kepada Allah, seorang hamba seharusnya juga mewujudkan akhlak baik kepada makhluk Allah, baik kepada manusia, flora, fauna, dan seluruh alam semesta raya. Akhlak yang merupakan representasi kadar keimanan itu digambarkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: “Iman memiliki tuju puluh cabang, yang paling utama adalah la Ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan.” Duri disini diartikan sebagai gangguan. Bahkan menyingkirkan duri agar tidak mengganggu perjalanan orang lain dinilai sebagai bagian dari iman, apalagi jika perbuatan yang dilakukan adalah untuk menjaga kehidupan agar tetap harmonis dan lestari?

Dalam kondisi dunia yang semakin chaos dan destruksi yang massif, perlu suatu tesis yang melampaui pandangan Tasawuf Modern Hamka. Semoga tidak berlebihan jika tawarannya adalah tasawuf progresif. Dua kata ini menjadi reprsentasi dua hal, yaitu yang ukhrawi dan duniawi. Tasawuf sebagai kondisi pendakian spiritual dan progresif sebagai kata sifat yang condong kepada perbuatan yang merubah keadaan menjadi lebih baik. Pencapaian spiritual akan termanifestasi dalam akhlak kepada Allah dan kepada makhluk Allah. Progresivitas dalam terminology ini mengandaikan adanya suatu kondisi yang darurat yang harus segera direspon oleh para hamba Allah dalam menjalankan peran kekhalifah-annya.

Mungkin terlalu dini menelorkan ide ini, namun tasawuf progresif menjadi suatu alternatif pemikiran corak beragama yang bisa dielaborasi lebih dalam. Tasawuf progresif mendorong paham keagamaan yang selaras dengan kisah-kisah nubuwat, yaitu para Nabi yang diutus bagi umat manusia. Para Nabi dan Rasul menjadi penyeru, berdiri di baris depan melawan para penguasa yang berlaku zalim dan semena-mena. Mereka juga dengan sangat lembut dan belas kasih berdiri di barisan umat yang tertindas, menolong umat keluar dari penderitaannya dan mununjukkannya jalan yang benar. Semangat nubuwat ini yang absen dari pengajaran agama dewasa ini. Padahal, di tengah kondisi dunia yang menunjukkan ketimpangan yang sangat nyata, semangat nubuwat ini seharusnya menjadi inspirasi umat beragama untuk tampil menjadi umat yang memperjuangkan nilai-nilai Islam (damai), menebarkan salam, penuh kasih sayang, dan berdiri membela kaum yang lemah dan tertindas.

Sitti Aaisyah