Setelah Tasawuf Modern, Kini Tasawuf Progresif (bagian 1/4 tulisan)
Oleh: Sitti Aaisyah
Buya Haji Abdul Malik Karim Abdullah atau yang familiar dikenal dengan nama Buya Hamka, menulis sebuah buku popular yang berjudul Tasawuf Modern. Tasawuf adalah mistisisme dalam Islam yang memprioritaskan pengolahan jiwa/batin demi menjadi seorang insan kamil (manusia yang sempurna) yaitu manusia yang berakhlak mulia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Berakhlak atau berperilaku bukanlah suatu tindakan otonom yang terpisah dari tindakan menyusun dan melahirkan pengetahuan dan keyakinan (epistemologis). Akhlak adalah materialisasi keyakinan bertauhid itu sendiri.
Umumnya, tasawuf dalam dunia Islam diidentikkan dengan perilaku anti keduniawian. Sufi, mereka yang mendalami dan menjalankan tasawuf, cenderung hanya memakai pakaian yang lusuh, compang-camping, tidak memiliki harta, dan hidup menyepi, menjauh dari kehiduap sosial. Kebanyakan sufi menganggap dunia penuh dengan jebakan yang menyesatkan yang dapat membuat jauh dari Allah swt. Para sufi kebanyakan meyakini bahwa orang yang miskin adalah mereka yang membiarkan nafsunya menjadi raja dan ingin menguasai dunia tanpa batas, sedangkan orang yang yang paling kaya adalah mereka yang merasa cukup dengan sajadah untuk bersujud kepada Allah. Corak bertasawuf yang demikian inilah yang salah satunya menjadikan peradaban Islam menjadi terpuruk, sebab mereka pencari Tuhan (salik) memandang dunia selaiknya penjara yang akan mengurung dirinya dari bertemu Tuhan. Dunia tidak lagi dipandang sebagai kebun yang disediakan Tuhan untuk manusia bertanam amal kebaikan untuk hasilnya bisa dipetik di hari kemudian nanti.
Di sisi lain, ummat Islam yang menikmati cahaya gemerlap pengetahuan duniawi justru menjadi semakin menjauh dari nilai-nilai Islam. Dunia mengerangkeng jiwanya sehingga menjadi pribadi-pribadi yang materialistis, ambisisus, dan bahkan tiran kepada yang lemah. Nafsu keduniawiannya menjadikan manusia-manusia modern menjadi lupa akan hakikat dirinya. Baginya yang terpenting adalah yang disini dan yang sekarang (now and here), hari kemudian tidak lagi diyakininya sebagai sebuah janji Tuhan yang pasti akan datang, yang pada hari itu seluruh amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Tuhan hilang dari pikiran dan hatinya.