Dilema “lebih”
Oleh: Simon Mangatur
“Lebih” bisa jadi sebuah kata yang memberi tekanan, dorongan, hasrat bahkan ambisi. “Lebih” bisa membuat kehidupan tidak pernah sampai pada kepuasan dan terus membawa diri keluar dari zona nyaman. “Lebih” bisa jadi juga sebuah kata yang membawa pada frustasi, kekecewaan, dan keputusasaan.
Lebih pintar, lebih cantik, lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal, lebih maju, lebih banyak pengikut, kata-kata ini saja sudah cukup memberikan tekanan bagi generasi zaman ini, dan tekanan itu akan semakin kuat ketika ditambahkan lagi kata “harus”
“Kamu harus lebih rajin!”
“Kamu harus lebih pintar!”
“Kamu harus lebih sukses!”
“Kamu harus lebih cantik!”
“Kamu harus lebih kaya!”
Belum lagi ketika kata “lebih” dan “harus” itu diikuti dengan contoh pembanding;
“Kamu harus lebih rajin seperti si….!”
“Kamu harus lebih pintar seperti si …!”
“Kamu harus lebih sukses seperti si …!”
Sehingga kerap kali indentitas diri disamakan dengan pencapain-pencapain dari usaha-usaha untuk “harus lebih”. Alhasil bila “lebih” tidak diikuti dengan kata-kata yang positif, maka sebaliknya malah diikuti oleh kata-kata negative, lebih – hancur, gagal, terpuruk, mengecewakan dan sebagainya.
Celakanya lagi, lebih hancur, gagal, terpuruk dan mengecewakan itu dijadikan identitas diri. “Aku orang hancur,” “Aku orang gagal,” “Aku orang terpuruk” dan lagi lagi. Inilah dilema “lebih,” ia bisa membawa ke atas namun juga bisa ke bawah. Bisa membawa lebih baik, namun juga bisa lebih buruk.
Namun dilema itu tetap harus dihadapi, karena kehidupan menghendaki sebuah dinamika, kehidupan menghendaki kita “lebih” ke arah yang baik. Sekalipun “lebih” bisa menuju ke bawah dan bukan ke atas, bukan berarti kita tidak mengambil pilihan untuk menjadi lebih.