Catatan Kecil Tentang Diskursus Islam dan Demokrasi
Oleh: Dr. Sukron Ma’mun, S.Ag.,M.A
Dalam konteks masyarakat muslim terdapat tiga model hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, model akomodatif dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Konsep demokrasi sangat inheren atau bagian integral dari ajaran Islam, bahkan Islam secara teologis maupun sosiologis sangat mendukung proses demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan. Kedua, model simbiotik atau resiprokal-kritis dengan tegas mengatakan bahwa hubungan antar Islam dan demokrasi bersifat dialogis, hubungan tersebut terjalin saling mengisi dan mempelajari. Ketiga, model antagonistik dengan tegas mengatakan bahwa antar Islam dan demokrasi tidak ada kesesuaian bahkan cenderung bertolak belakang. Kelompok ini menganggap demokrasi sebagai sistem yang kufur, bid’ah, kecurangan dari dunia barat, suatu usaha untuk menghancurkan Islam dan menguasai pikiran umat Islam.
Penolakan sebagian aktifis Islam terhadap konsep demokrasi disebabkan oleh kerancuan berpikir dalam menilai demokrasi versi Barat. Hal itu terjadi karena umat Islam memikul beban masa lalu yang berat dan masa lalu tersebut sangat berperan dalam melahirkan berbagai keraguan, kebimbangan, penolakan dan tuduhan terhadap Barat. Demokrasi dalam pandangan mereka tidak lebih dari rumusan konsep Barat yang memperburuk citra kaum muslimin. Demokrasi merupakan reinkarnasi dari kehinaan dan keburukan kolonialisme eropa. Selain itu, dalam opini orang-orang Islam terkesan bahwa negara-negara Barat tidak pernah jauh dari kekerasan, penjajahan, kerusakan moral dan kekufuran. Stigma negatif ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik mereka. Usaha ini semakin lancar dengan stagnasi pemikiran dan budaya di kalangan umat Islam. Namun demikian, dengan tidak diakui demokrasi versi Barat bukan berarti penolakan terhadap konsep demokrasi itu sendiri, tetapi penolakan tersebut lebih mengacu pada dari mana konsep itu berasal.
Dengan Demikian jika yang dimaksud demokrasi itu adalah wadah masyarakat untuk memlilih seseorang guna mengurus dan mengatur urusan mereka. Pemimpin yang dipilih oleh mereka bukan yang orang yang mereka benci, peraturannya juga bukan yang mereka tidak kehendaki dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin mereka salah. Mereka pun dapat memberhentikannya dari tampuk pimpinan jika ia menyeleweng dan mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, social, budaya atau politik yang mereka tidak kenal dan tidak mereka sukai. Jika kondisi demikian adalah esensi demokrasi, maka sungguh penerapan demokrasi tidak memiliki pertentangan dengan ajaran islam.
Demikian pula apa yang menjadi sikap para pemikir Islam ternama seperti Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Rasyid Ridho hingga Syaikh Mahmud Syaltut mengenai sistem pemerintahan atau konsep politik Islam. Wacana pemikiran mererka tidak ada yang berentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Persoalan ini semakin jelas ketika kita membaca tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh rasyid ridho yang membahas musyawarah dan karya tulis Syaikh Mahmud Syaltut dalam al-Mabadi’ al-Asasiyah fi al-Hukm semua hasil pemikiran mereka menghilangkan kerancuan tentang masalah ini.