Implikasi Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Negara terhadap Integrasi Nasional

Oleh: Beatrice Josephine Filia, Brigita Vanessa Salim, Christiella Abinosy Setiawan, Jonathan Lee, Shilvia Meidhi Honova, Vierdaria Wijayanti

Pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal 1965, Talangsari lampung 1989, Penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan mei 1998, tragedi trisakti dan semanggi I dan II, peristiwa penembakan misterius melanggar hak-hak sipil dan politik dari korbannya, seperti hak hidup, hak atas pengakuan dan jaminan hukum, dan hak politik. Juga, korban-korban ini dianggap sebagai kriminal sebelum negara mengakui hal tersebut.

Orang-orang yang menderita akibat ketidakadilan ini mendapat sebuah luka bersejarah, yang diteruskan turun-temurun ke anak-anaknya. Misalnya, etnis tionghoa sampai saat ini masih diceritakan kepada anak-anaknya bagaimana saat tahun 1965, banyak nyawa dari orang tionghoa tidak bersalah hilang karena dianggap sebagai PKI. Hal ini tidak berhenti hanya disitu saja, sepuluh tahun berikutnya, orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditangkap dan ditahan. Banyak yang tidak mampu bertahan pada periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat kekurangan gizi dan penganiayaan. Jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68. Mereka yang dibebaskan sering kali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara rutin harus lapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka. Tragedi Mei 1998 juga menjadi salah satu luka yang mendalam. Aparat keamanan TNI dan polri bertugas melindungi masyarakat Indonesia. Ironis, karena pada saat itu masyarakat tidak lagi dapat mempercayai pemerintah dan aparat yang sudah membelenggu demokrasi selama kekuasaan Orde Baru. Hak berbicara sebagai warga negara Indonesia pada saat itu sulit terealisasi.

Operasi penembakan misterius, yang diduga dilakukan oleh TNI, Polri, pejabat sipil, dan Garnisun, yang telah menangkap, menyiksa, dan membunuh banyak orang yang dianggap kriminal tanpa melalui peradilan yang sah. Terungkap juga bahwa pengambilan keputusan dari operasi ini dilakukan sepihak. Memang benar tingkat kriminal akhirnya menurun, namun sebagian orang menganggap aksi ini telah melanggar HAM karena telah membunuh seseorang tanpa diadili terlebih dahulu melalui jalur hukum. Selain itu, ada pula tragedi Talangsari  terjadi pada masa orde baru, yang memberlakukan UU Nomor 3/1985 pada 19 Februari 1985 yang isinya semua partai politik harus berasas tunggal pancasila. Tidak hanya partai politik, seluruh organisasi kemasyarakatan di Indonesia juga diwajibkan. Peristiwa ini sebetulnya terjadi karena kesalahpahaman antara 2 kelompok dan adanya kedatangan rombongan aparat sipil dan militer ini, oleh para pengikut warsidi dianggap ajakan perang. Pada undang undang No. 26 tahun 2000 pasal 9 sudah dijelaskan bahwa tindakan penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas perintah dari atasan militer maupun non militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal yang harus dilakukan untuk menciptakan integrasi nasional adalah aparat sipil dan aparat militer harus dapat melindungi masyarakat, dan memperhatikan tindakannya.

Terjadinya tragedi Trisakti disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu krisis kepercayaan, krisis hukum, krisis politik, dan krisis ekonomi. Selain itu, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto cenderung otoriter dan tidak demokratis. Banyak kritik dari rakyat yang dibungkam dan bahkan beberapa orang yang berani mengkritik akan dihilangkan secara paksa. Terlebih lagi, kehakiman berada dalam kontrol Presiden Soeharto. Sehingga mahasiswa dan masyarakat pro-demokrasi memilih untuk melakukan demonstrasi besar besaran pada Mei 1998 demi menuntut reformasi. Beberapa dampak dari tragedi ini antara lain, jatuhnya korban jiwa, 4 mahasiswa tertembak dan meninggal, Soeharto mundur dari jabatan, tercetusnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998, krisis ekonomi Indonesia semakin buruk, terjadinya kerusuhan yang mencekam, menurunnya penumpang transportasi akibat masyarakat yang ketakutan, dan berbagai sektor terhambat karena keadaan yang serba kacau. Kejadian-kejadian diskriminatif dan tidak adil ini bisa kami lihat sebagai sebuah luka bersejarah, yang tidak akan bisa dilupakan begitu saja.

Luka-luka ini membuat rasa ketidakpercayaan kepada pemerintah muncul. Ada ketakutan bahwa kejadian-kejadian ini akan berulang kembali suatu saat nanti, sehingga terdapat sebuah disintegrasi antara negara dengan warga negaranya. Analoginya, jika seseorang A memukul B, dan meninggalkan luka traumatis pada B, kejadian ini akan terus membuat B untuk membuat jarak dengan A. Para korban (B) ini yang diperlakukan tidak adil, tentu saja tidak puas dengan keadaannya. Sehingga, mereka rentan melakukan pemberontakan dan penolakan, yang mengancam integrasi nasional.

Namun, pada kenyataannya, waktu terus berjalan. Kejadian yang telah berlalu harus bisa direlakan dan diambil pelajarannya dari kedua belah pihak. Terdapat sebuah pihak yang harus meminta maaf untuk memperbaiki relasi antara kedua belah pihak. Pelakunya, negara, yang telah membuat para korban-korban dari kejadian itu menderita, harus meminta maaf kepada para korban, dengan artian negara juga harus siap mengganti rugi kerugian yang terjadi kepada para korban, walau nyawa yang hilang tidak akan bisa ditukar.

Dengan negara meminta maaf pada korban, maka setidaknya, para korban bisa mendapatkan keadilan dan perlakuan yang lebih baik. Mereka yang sebelumnya diperlakukan sebagai kriminal, sekarang kembali dilindungi oleh negara. Hak-hak sipil dan politik para korban akhirnya mereka dapatkan kembali. Nama baik korban dan keluarga korban juga dikembalikan. Dengan mereka diperlakukan lebih baik dan diakui bahwa mereka tidak bersalah, diharapkan mereka bisa lebih mudah memaafkan kejadian-kejadian tersebut. Jika negara berhasil untuk memperlakukan mereka secara adil, mereka kembali merasa menjadi warga negara Indonesia, maka harmonisme dapat tercapai. Dengan harmonisasi antara warga negara dan negaranya, integrasi nasional pun bisa tercapai.

Kesimpulannya, dengan negara mengakui pelanggaran HAM dan meminta maaf kepada para korban pada 12 kejadian tersebut, para korban bisa memiliki nama baik dan hak-hak mereka kembali. Dengan relasi yang baik antara negara dan warga negaranya, maka integrasi nasional baru bisa tercapai. Integrasi nasional sulit untuk terjadi apabila masih terdapat perlakuan yang tidak adil kepada masyarakat.

Beatrice Josephine Filia, Brigita Vanessa Salim, Christiella Abinosy Setiawan, Jonathan Lee, Shilvia Meidhi Honova, Vierdaria Wijayanti