Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Oleh: Yustinus Suhardi Ruman

Dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI, Soekarno menawarkan prinsip kedua sebagai dasar dari Indonesia merdeka, prinsip kedua itu adalah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Internasionalisme jelas berkaitan dengan posisi bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional. Bangsa Indonesia yang merdeka bukan sebuah bangsa yang tertutup, melainkan suatu bangsa yang terbuka. Terbuka untuk bergaul dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini.

Konteks politik global dari prinsip ini adalah bahwa bangsa-bangsa di dunia ini pada saat itu terbelah ke dalam dua blok besar. Ada blok Barat dan ada Blok Timur. Blok Barat di motori Amerika Serikat dengan sekutu-sekutuya, terutama negara-negara Eropa. Blok Barat menganut ideologi liberalisme. Dalam bidang ekonomi, liberalisme kondusif bagi bertumbuh suburnya kapitalisme. Lalu pada pihak lainnya ada blok Timur yang dimotori oleh Uni Soviet dengan prinsip komunismenya. Dalam bidang ekonomi, komunisme menerapkan prinsip sosialisme. Liberalisme berbasis pada kebebasan individu, komunisme berbasis pada kepentingan bersama. Kekuatan utama liberalisme adalah individu, sedangkan kekuatan utama pada komunisme adalah negara. Kedua blok tersebut, saling menegasi satu dengan yang lainnya.

Dalam pergaulan internasional, kedua blok ini memiliki semangat yang sama yakni mendominasi, menentukan dan mengeksploitasi bangsa-bangsa lain yang miskin. Mereka menjajah, mengambil sumber daya alam dari bangsa-bangsa lain yang miskin untuk kepentingan bangsa mereka sendiri. Negara-negara di benua Asia dan Afrika telah menjadi korban eksploitasi mereka.

Sampai dengan hari ini, kedua blok itu masih memiliki pengaruh yang luas terhadap hampir semua negara di dunia ini. Mereka berusaha sedemikian rupa memengaruhi bangsa-bangsa lain untuk menjadi bagian dari blok mereka. Negara-negara yang miskin dan penuh dengan konflik nasionalnya menjadi arena pertarungan pengaruh mereka.

Indonesia merdeka, tidak menutup diri. Indonesia yang merdeka terbuka dan bergaul dengan mereka, namun dalam prinsip “Perikemanusiaan”.  Dalam prinsip perikemanusiaan ini, Indonesia merdeka tidak memihak pada salah satu blok itu. Ketidakberpihakan tersebut merupakan salah satu spirit dari kemerdekaan Indonesia. Dengan keterbukaan itu, nasionalisme Indonesia menjadi lebih hidup.

Kemudian, dalam sidang PPKI, bapak-bapak dan mama-mama bangsa bersepakat, prinsip Internasionalisme direformulasi rumusannya menjadi, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Meski dirumuskan secara berbeda, spiritnya tetap sama yakni Indonesia merdeka adalah bangsa yang terbuka dalam berelasi.

Namun, relasi itu tidak lagi hanya terjadi dalam konteks pergaulan internasional sebagaimana yang diajukan oleh Soekarno dalam sidang  Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI 1 Juni 1945. Relasi itu kini juga menyangkut relasi negara Indonesia dengan warga negara Indonesia, dan relasi antara sesama warga negara Indonesia.

“Kemanusiaan” bukan sebuah konsep yang abstrak, konsep yang tidak terikat dalam pengalaman manusia, pengalaman negara, atau pengalaman warga negara. Sebab, kemanusiaan selalu menjadi aktual dalam sebuah relasi baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun sosial. Baik dalam konteks relasi keluar secara internasional, maupun relasi ke dalam secara nasional.

Dengan demikian, sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap” tidak hanya berkaitan dengan relasi Internasional Indonesia. Sila itu juga berkaitan dengan relasi nasional bangsa Indonesia itu sendri  secara ke dalam yakni relasi antara negara Indonesia dengan warga negara Indonesia, lalu relasi antara sesama warga negara Indonesia.

Setiap relasi, baik dalam secara internasional, maupun secara nasional selalu ada kecenderungan salah satu pihak yang terlibat dalam relasi mendeterminir pihak yang lainnya, atau bahkan mengeksploitasi pihak yang lainnya. Negara-negara kaya mengeksploitasi negara-negara miskin, atau negara-negara kayalah yang menentukan syarat atau kondisi dalam relasi itu.

Lalu dalam konteks nasional secara ke dalam, bisa juga terjadi, negara menghegemoni warga negara, atau bahkan mengekspolitasi warga negaranya sendiri, bertindak sewenang-wenang atau menjadi negara yang otoriter. Negara Orde Baru dapat menjadi contoh tentang relasi negara dengan warga negara yang hegemonic dan otoritarian. Banyak tragedi kemanusiaan yang diciptakan oleh otoritarianisme Orde Baru. Selain itu juga tidak kurang hak-hak sipil warga negara seperti kebebasan berbicara dan berekspresi diberangus.

Hal yang sama juga dalam konteks bergaul antara sesame warga negara. Kelompok warga negara yang satu mendominasi kelompok warga negara yang lainnya. Kita mengenal sebutan mayoritas dengan minoritas, atau pribumi dan non pribumi. Relasi dominatif menciptakan malapetaka kemanusiaan. Konflik Poso, Ambon, Sampit, kerusuhan etnik di Jakarta 1998 adalah sebagian contoh yang perlu kita kenang untuk tidak mengulanginya lagi.

Untuk mencegah terjadinya eksplotasi oleh satu satu pihak terhadap pihak yang lainnya, baik dalam pergaulan global bangsa Indonesia, maupun dalam relasi nasionalnya, maka relasi itu harus dibangun dalam semangat keadilan dan keberadaban. Relasi yang dibangun dengan prinsip-prinsip keadilan dan keberadaban akan membuat kemanusiaan itu menjadi pengalaman aktual setiap bangsa, dan setiap warga negara. Kemanusiaan dalam hal ini bukan sebuah dasar kehidupan bangsa yang abastrak, melainkan pengalaman sehari-hari bangsa dan warga negara Indonesia. Tanpa keadilan dan keberadaban, relasi-relasi yang dibangun akan menjadi ekspolitatif dan bertentangan dengan kemanusiaan itu sendiri.

Yustinus Suhardi Ruman