“Ketuhanan Yang Maha Esa” (Sebuah refleksi)

Oleh: Yustinus Suhardi Ruman

“Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sila pertama Pancasila. Ada dua perspektif yang dapat kita refleksikan dari sila pertama ini. Perspektif pertama adalah relasi vertical negara dengan warga negara. Lalu perspekti kedua berkaitan dengan relasi horizontal antara sesame warga negara. Kedua perspektif ini dapat kita rujuk pada pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dihadapan peserta sidang dokuritsu zyunbi tyoosakai. Saat menyampaikan prinsip ke-5 yakni Ketuhanan, Sukarno mengatakan, “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri.”   

Perspektif pertama, pernyataan Soekarno tersebut jelas menunjukkan bangsa Indonesia yang merdeka adalah bangsa yang ber-Tuhan. Pada satu sisi Indonesia bukan sebuah bangsa yang sekular, suatu bangsa yang mengambil jarak dengan Tuhan. Namun pada sisi lain, Indonesia merdeka itu juga bukan sebuah negara dibangun di atas dasar agama. Indonesia bukan negara agama. Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan.  

Distingsi antara agama dan Tuhan menjadi sangat penting. Semua agama pasti ber-Tuhan, dan Indonesia merdeka juga ber-Tuhan. Agama dan negara memiliki kesamaan dalam hal ber-Tuhan. Ini berarti agama tidak bertentangan dengan Indonesia merdeka, dan sebaliknya, Indonesia merdeka tidak mengabaikan agama. Agama dan negara berjumpa dalam prinsip yang sama yakni keber-Tuhanan. Dengan demikian, relasi negara dengan warga negara melalui berbagai kebijakan haruslah mencerminkan nilai-nilai Ketuhanan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan. Agama pada pihak yang lain harus menjadi agen yang memperkuat negara dalam menghayati keber-Tuhanannya..

Lalu, perpektif kedua adalah relasi horizontal, relasi antara sesama warga negara. Sukarno mengatakan;

masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialaha negara yang tidap-tiap orangnya dapat menyebah Tuhannya dengan cara yang leluasa.

Setiap orang Indonesia percaya kepada Tuhan. Tuhan adalah titik sentral perjumpaan antara sesame warga negara. Setiap warga negara “hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri..”. Relasi antara sesama warga negara dalam hal ini, apapun agamanya adalah relasi antara sesame yang percaya pada Tuhan. Pada relasi itu, setiap warga negara menghadirkan sifat-sifat ilahi dalam dirinya sebagai orang yang percaya pada Tuhan. Oleh karena setiap orang menghadirkan sifat ilahi dalam relasinya, maka tidak ada pertentangan antara satu agama dengan agama yang lainnya. Sebab, setiap penganutnya menghadirkan keilahian Tuhan dalam relasi itu karena sama-sama orang yang percaya kepada Tuhan.

Singkatnya sila pertama, Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa agama dan negara tidak bertentangan, lalu secara horizontal tidak ada satu agama yang lebih baik dari agama yang lainnya. Semua sama-sama baik karena semata-mata semua penganutnya sama-sama percaya kepada Tuhan.   Dengan prinsip itu, negara melindungi setiap agama yang ada di Indonesia, dan setiap agama yang ada di Indonesia tidak menjadi superior atas negara. Negara dan agama bergandengan satu sama lain menghadirkan karya keselamatan, memajukan kemanusiaan dan kesejahteraan untuk setiap orang Indonesia. Demikian juga halnya dengan sesame warga negara dengan identitas agamanya masing-masing. Tidak ada satu agamapun menjadi superior atas agama yang lainnya. Semuanya, sama-sama menghadirkan karya keselamatan, memajukan kemanusiaan dan kesejahteraan bagi sesame.

Yustinus Suhardi Ruman