Jadikan Pancasila Sebagai Gaya Hidup
Oleh: Cindea Cherlyanda (SMA Cinta Kasih Tzu Chi)
“Aku tidak mengatakan, bahwa aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.” Kalimat tersebut diutarakan oleh Ir. Soekarno, untuk mengonfirmasi bahwa Pancasila diracik dari nilai nilai yang tumbuh di nusantara.
Indonesia namanya, yang memiliki 1.340 Suku, 6 Agama, dan 16.771 Pulau yang tergabung menjadi satu dan semua itu didasari oleh Pancasila. Istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yaitu panca yang berarti lima dan sila yang berarti prinsip/asas. Dari istilah tersebut dapat kita ketahui bahwa Indonesia memiliki prinsip yang harus dilakukan dalam berkehidupan, tidak ada salahnya jika kita menerapkan Pancasila diluar dari Negara Indonesia, karena isi dari Pancasila sendiri mengandung nilai-nilai kehidupan yang umum dan berarti, serta sudah tumbuh dalam adat istiadat.
Dengan kata lain, nilai nilai Pancasila semestinya sudah menjadi bagian hidup kita karena sebenarnya nilai nilai merupakan kristalisasi dari nilai nilai budaya kita. Hal ini, ditambah lagi, sebagaimana pengalaman saya, secara kognitif sudah menginternalisasi pendidikan Pancasila di bangku persekolahan, mulai dari SD hingga SMA. Pengalaman demikian mestinya, tanpa kita sadari Pancasila sudah seharusnya menjadi gaya hidup, bahkan sudah menjadi sesuatu hal yang bisa kita lakukan tanpa harus kita ingat.
Tetapi, meskipun sudah menginternalisasi nilai nilai pancasila secara formal di sekolah, mengapa ada saja oknum-oknum yang belum mengeksternalisasi nilai nilai Pancasila secara baik? Adanya rasisme, ketidakadilan, korupsi, egoisme, sukuisme, konflik di sekitar kita dan berbagai turunannya mengindikasikan bahwa Pancasila belum sepenuhnya optimal menjadi gaya hidup kita.
Dalam tulisan singkat ini, saya tidak akan mengutarakan sebab mengapa Pancasila belum menjadi gaya hidup, tetapi saya akan mensharingkan bagaimana saya menjadikan Pancasila sebagai gaya hidup dalam keseharian. Tanpa bermaksud menggurui, ijinkan saya menyampaikan bagaimana saya mengeksternalisasi nilai nilai Pancasila dalam keseharian.
1. Ketuhanan yang Maha Esa.
Bagi saya, sila pertama ini mendeklarasikan kemerdekaan dalam beragama, kita bisa bebas memilih Agama yang kita mau. Hak kebebasan dalam beragama juga tertuang dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk Agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut Agama dan Kepercayaannya itu.
Sebagai pelajar, sila pertama ini sangat jelas. Saya nyaman menjalankan ajaran agama saya, demikian juga sebagai seorang pancasilas saya harus memberi kenyamanan bagi setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing masing. Bahwa perbedaan dalam berkeyakinan dan beragama itu adalah pasti ada, tetapi sebagai seorang yang menjiwai pancasila menganggap perbedaan itu sebagai keindahan. Itulah bukti keesaan Tuhan yang menaungi semua perbedaan agama dan keyakinan.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Jika saya sudah memperlakukan seseorang dengan baik tanpa memandang suku, ras, agama, latar belakang, jenis kelamin, maka dalam pemahaman saya, saya sudah sudah menerapkan Pancasila yang ke-2 ini. Contoh lainnya bisa dengan toleransi antar sesama, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan lain-lain.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagaimana juga tertuang dalam pasal 27, 28, 29, 31 UUD 1945, dalam pemahaman saya, sungguh sungguh sudah menjadi nyata, ketika saya menganggap setiap orang, tanpa memandang latar belakangnya, sebagai saudara. Sebagai saudara, maka bagi saya orang lain adalah setara. Setara karena sama sama menghirup udara dari sumber yang sama.
3. Persatuan Indonesia.
Indonesia memiliki banyak suku, ras, budaya, agama, etnis, dan berbagai unsur unsur lain yang hanya bisa ditemukan di negeri ini. Itulah adalah anugerah bagi saya dan bagi setiap orang yang terlahir di Indonesia. Walaupun terdapat banyak perbedaan, sebagai warga Indonesia yang pancasilais, saya melihat perbedaan itu sebagai keindahan dan kekayaan yang harus tetap dirawat. Perbedaan itu memperkaya khazanah pemikiran dan wawasan budaya saya. Perbedaan itu juga mengajarkan saya bahwa yang baik dan benar tidak menjelma pada hal yang tunggal saja, tetapi berpadu dalam keunikan setiap unsur yang berbeda.
Merawat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang juga tercantum dalam pasal 30 ayat 1 dan 2 UUD 1945, adalah tugas setiap kita yang mencintai Indonesia. Indonesia itu ya sejak berdirinya penuh perbedaan, maka menjadi seorang indonesia yang pancasilais mau tidak mau harus memaklumi bahwa perbedaan adalah bagian hakiki dari Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan.
Nah, bagaimana menjadikan perbedaan, yang adalah bagian hakiki dari bangsa Indonesia, menjadi harmoni tanpa harus menimbulkan konflik? Jawabannya ada pada sila ke empat ini. Sebagai seorang yang tumbuh dan berkembang dalam keberbedaan dalam banyak hal, saya selalu menjadikan musyawarah sebagai bagian hidup saya.
Dari pengalaman saya sebagai pelajar, konflik tidak harus terjadi karena perbedaan, sebab dengan bermusyawarah semua hal, termasuk perbedaan, bisa selesaikan. Sejauh ini, saya tetap meyakini bahwa komunikasi yang baik dan terbuka bisa mengharmoniskan segala perbedaan. Dengan musyawarah dan komunikasi yang baik, setiap orang merasa dihargai dan diberdayakan.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tentu saja, setiap orang merasa dihargai dan diberdayakan jika dalam melakukan musyawarah dan komunikasi itu ada keadilan. Itulah sila kelima. Sebagai seorang pelajar, saya selalu berusaha menjadikan keadilan sebagai ukuran dan tujuan dalam bermusyawarah untuk mengakomodasi perbedaan. Adil itu bagi saya, tidak selalu harus sama sama rata, tetapi semua merasa dihargai dan diberdayakan, meskipun perolehannya berbeda beda. Adi itu ya, ketika saya hadir dan bertindak dalam kebersamaan, tanpa merugikan satu orang pun. Adil itu bagi saya, ketika apa yang saya katakan, janjikan, pikirkan seirama dengan perbuatan saya.
Sampai disini, sekali lagi saya hanya mensharingkan bagaimana saya menjadikan Pancasila sebagai gaya hidup, utamanya sebagai seorang pelajar. Pancasila itu sudah, sedang, dan akan tetap menjadi gaya hidup saya, bukan terutama karena Ir. Soekarno hingga Pak Jokowi menghimbaunya, tetapi karena saya nyaman untuk tumbuh dan berkembang dalam nilai-nilai Pancasila. Itu sebabnya, saya selalu berani mengatakan Pancasila itu keren, karena saya sudah mengalaminya.
Referensi