Kartini

Oleh: Rina Patriani Chairiyani

Setiap tanggal 21 April otomatis saya akan selalu teringat oleh seorang wanita muda yang penuh dengan semangat dan gelora jiwa jamannya. Berpuluh tahun lalu, saat Kartini hidup kondisi pendidikan di Hindia Belanda sangatlah buruk. Sebagaimana yang sering disebut dalam buku-buku sejarah, pendidikan  bagi rakyat Hindia Belanda terbatas bagi kalangan tertentu saja. Awalnya, hanya untuk kaum bangsawan saja. Itupun masih dibatasi lagi hanya untuk kaum laki-laki saja. Baru, setelah politik etis dicetuskan, pendidikan bagi rakyat pribumi mulai sedikit meluas jangkauannya. Sebagian rakyat mulai dapat merasakan duduk di bangku sekolah. Bagi rakyat jelata, mereka dapat mengenyam sekolah hingga bangku sekolah dasar atau sekolah rakyat (SR). Bagi kalangan bangsawan dan kaum berada mulai dapat mengenyam pendidikan sekolah tinggi.

Akan tetapi, bagi perempuan saat itu tetap saja tidak dapat dengan leluasa mengenyam pendidikan. Inilah, yang selalu menjadi pemikiran Kartini muda pada saat itu, bahwa wanita selalu dimarjinalkan untuk dapat mengenyam pendidikan. Padahal menurut Kartini, sebuah bangsa memerlukan tonggak besar dalam pembangunan karakter bangsa tersebut, sementara peranan untuk membangun karakter bangsa dimulai dari keluarga. Ibulah yang menjadi soko guru pendidikan karakter bagi keluarganya.

Bagi Kartini, seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dalam salah satu kutipan tulisannya Kartini menyatakan akan pentingnya pendidikan akhlak sebagai inti dari peradaban sebuah bangsa.  “…Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan. Siapa yang paling banyak berbuat untuk yang terakhir, yang paling banyak membantu mempertinggi kadar budi manusia? Wanita, ibu. Karena manusia pertama-tama menerima pendidikan dari seorang perempuan. Dan tangan seorang perempuanlah, anak-anak mulai belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Didikan pertama kali itu bukan tanpa arti bagi seluruh penghidupan…” (Pane dalam Ima, Restu dan Yusuf, 2021).

Untuk itu, seorang wanita, haruslah memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Wanita harus dapat mandiri dan diperdayakan melalui pendidikan agar nantinya ketika seorang wanita menjadi ibu maka dirinya dapat menjadi seorang guru bagi anak-anaknya terutama pendidikan karakternya. Dengan pendidikan karakter yang baik, maka anak-anak memiliki bekal yang diharapkan dapat digunakan untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik bagi dirinya maupun bagi kemajuan bangsanya.

Referensi:

Ima, D., Yusuf, S., Restu, N. 2020. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter R.A Kartini Dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang. At-Thullab, 2 (1). P.343-354.

Kartini. 2018. Habis Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: Narasi

Manijo. 2018. Menggali Pendidikan Karakter Anak “Prespektif R.A Kartini”. Thufula Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudharul Athfal, 1(1). P. 38-56.

Rina Patriana Chairiyani