Otonomi Daerah

Oleh:  Christian Siregar

Sudah sejak lama sebenarnya bang Olo kepingin pulang kampung. Kerjaannya di Jakarta macet, alias bang Olo kena PHK. Tapi kenapa bang Olo belum pulang juga? “Malu aku,” katanya. “Lho, koq malu pulang kampung sendiri bang,” kataku. “Ya, malulah. Itu kan berarti aku ngaku kalau aku sudah gagal. Mana ada lagi orang di kampung menghormati aku,” kata bang Olo. “Ah, jangan gitu lah bang, sekarang kan zaman otonomi daerah, lebih mudah kiranya mencari pekerjaan di kampung…masih banyak kesempatan abang di sana,” kataku pula tak mau kalah. “Justru itu, tambahnya. Aku malu karena sering kuplesetkan istilah Otonomi Daerah itu menjadi Otonai Daerah,” kata bang Olo. “Haaaah….!,” terkejut aku. Betapa tidak, ternyata masih ada saja orang yang berpandangam negatif tentang Otonomi Daerah, seperti bang Olo. Istilah “otonai” yang dia pakai, artinya adalah bodoh sekali.

Dalam UU No. 23 tahun 2014 pasal 1 ayat 6, pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gagasan Otonomi Daerah sebenarnya sudah ada sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yaitu aturan yang tertuang dalam UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah, membagi secara umum wilayah Indonesia menjadi provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Dengan demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi dalam arti yang sesungguhnya. Kemudian pada tahun 1948 terbit Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi khusus yang disebut dengan daerah istimewa, seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Tingkatan daerah dibagi menjadi Daerah Tingkat (DT) I yaitu Provinsi, DT II yaitu Kabupaten dan DT III yaitu Kota Kecil atau Desa. Pemerintahan Legislatif di daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sedangkan Eksekutifnya adalah Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Baru kemudian di tahun 1998 gaung otonomi daerah versi baru dibunyikan kembali.

Otonomi Daerah adalah upaya desentralisasi pemerintahan dan kekuasaan yang dilakukan pemerintah menjawab stagnansi pembangunan yang prestasinya selalu didengungkan sejak era Orde Baru, di bawah kepemimpinan “Bapak Pembangunan” Presiden Soeharto, demikianlah sebutan kehormatan bagi beliau waktu itu. Tapi peristiwa kerusuhan nasional Mei 1998 yang berdarah-darah menunjukkan kegagalan pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Pembangunan macet dan rapuh karena masalah korupsi, inflasi tinggi, dan sebagainya. Ekonomi kita sempat kandas. Peristiwa 13-14 Mei 1998 yang menelan banyak korban dan kehancuran ekonomi nasional telah menjadi titik balik perubahan system pemerintahan dari sentralisasi (Orde Baru) menjadi desentrasilasi (Orde Reformasi, setelah Mei 1998), setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari tampuk kepemimpinan kepresidenan.

Otonomi Daerah versi era Reformasi belum lagi berusia sepuluh tahun, “masih hijau”. Namun tidak ada salahnya kita berharap agar tujuan mulia otonomi daerah yakni pengembangan daerah dan percepatan pembangunan melalui pemerintahan daerah yang lebih otonom, dukungan dan partisipasi masyarakat luas dalam pembangunan daerah serta upaya-upaya kreatif yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah dapat dikembangkan lebih baik. Alhasil tidak perlu lagi ada komentar negatif seperti kata bang Olo, “Otonai Daerah”, sebab daerah-daerah boleh menunjukkan prestasi mereka sebagai pilihan tempat yang layak untuk ditinggali.

Christian Siregar