Agama Dan Ilmu Pengetahuan
Oleh: Christian Siregar
Agama dan ilmu pengetahuan (sains) sejak lama sudah sama-sama mengklaim memiliki kebenaran absolut. Kaum rasionalis yang mengidolakan sains menggemakan “sapere aude” yang pernah diucapkan filsuf Immanuel Kant, yang artinya beranilah berpikir sendiri. Orang yang tidak berani berpikir atau menggunakan akal budinya sendiri dianggap belum menjadi sosok yang dewasa. Sementara kelompok agamawan (para bapa gereja) atau yang lebih ekstrim biasa disebut “kaum bumi datar” menggemakan hal sebaliknya, percaya saja pada ayat-ayat kitab suci karena apa yang difirmankan oleh Tuhan Allah sejak awalnya tidak pernah salah. Kebenaran Tuhan absolut dan berlaku sepanjang masa. Iman harus menerangi akal budi, bukan sebaliknya.
Perdebatan saling silang tentang siapa yang benar dan paling benar memang tidak terhindarkan, terutama sejak abad-abad pertengahan (dark ages), sejak peralihan dari era patristic pada abad tengah ke era scholastic atau yang biasa disebut era renaissance pada akhir abad ke-16 sampai dengan munculnya fase aufklarung (enlightenment, abad pencerahan, berakhir pada abad ke-19) yang melahirkan pemikiran-pemikiran rasional-kritis terutama di Eropa Barat, antara lain Perancis, Austria, Jerman dan Inggris, yang ditandai dengan munculnya banyak filsuf dengan aneka gagasan mereka, sebut saja antara lain Sir Isaac Newton (Inggris) dan Immanuel Kant (Jerman). Meminjam istilah kaum millennial sekarang, “open minded dong, harus update”.
Kaum rasionalis-kritis yang menolak penempatan akal budi di bawah iman atau yang menempatkan filsafat di bawah teologi banyak ditinggalkan orang yang akhirnya menjadi ateis atau agnostic. Agama dianggap kuno, digantikan rasio. Apa yang tidak bisa dibuktikan dengan akal budi atau secara empiris atau yang tidak memiliki nilai obyektif ditolak. Jika Auguste Comte (filsuf Perancis) mengatakan, segala sesuatu harus bisa diverifikasi, maka Sir Karl Popper (filsuf Austria-Inggris) mengatakan harus bisa difalsifikasi.
Tidak dapat dipungkiri jika rasionalisme telah mengubah cara pandang individu, era theodise (yang berpusat pada kebenaran Tuhan, teosentris) digugat dan melahirkan era antropodise (manusia adalah pusat kebenaran, antroposentris). Manakala hal itu terjadi telah menimbulkan banyak dampak yang lain. Kebenaran yang dulu disebut absolut sekarang dianggap relative. Kemutlakan dipertanyakan bahkan digugat, termasuk ukuran moral yaitu apa yang dianggap bermoral dan amoral.
Globalisasi dan sekularisme tentu banyak memainkan peran juga. Dunia sekarang adalah flat (the world is flat), kata Thomas Friedman. Sains yang melahirkan teknologi maju telah membuahkan banyak hasil rekayasa teknologi yang mengedepankan percepatan arus informasi dan data. Teknologi internet misalnya, seolah sudah menjadi tuhan yang lain bagi banyak orang. Celakanya, gadget yang digandrungi kebanyakan orang telah melahirkan penyakit psikologis yang disebut nomophobia (kecemasan yang timbul akibat ketiadaan atau lupa membawa mobile phone). Di sisi lain, dampak menguatnya materialisme yang berdampak kuat pada penguatan gaya hidup konsumeristis tidak terhindarkan juga. Belum lagi masalah-masalah yang berhubungan dengan isu seksualitas, super banyak.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa sains yang berbasis penggunaan rasio, logika atau akal patut disambut gembira karena telah melahirkan teknologi dan hasil rekayasa teknologi yang menghasilkan kemudahan, kenikmatan lebih dan efisiensi. Namun di sisi lain dampak negatifnya patut dicermati secara kritis. Dalam hal ini peran agama yang memiliki kekuatan dalam soal nilai perlu sangat diperhitungkan. Jika iptek berbicara soal azas manfaat maka agama bicara soal nilai (value). Keduanya perlu sama-sama belajar, saling mengisi dan melengkapi. Iptek belajar dari agama soal nilai agar kita tidak kebablasan, sementara agama belajar dari perkembangan iptek agar tidak ketinggalan zaman.