Ayam dan Monyet
Oleh: Arcadius Benawa
Saya masih ingat kotbah Bapak Kardinal Yulius Darmaatmadja, SJ yang ditujukan kepada para penerima sakramen Krisma di Paroki St. Yusup Pati ketika beliau masih menjabat sebagai Uskup Keuskupan Agung Semarang. Beliau mengisahkan tentang perilaku ayam saat makan dan minum. Menurut beliau kita perlu belajar dari perilaku ayam saat makan dan minum. Ayam selalu ingat dan bersyukur kepada Tuhan sang pemberi makanan dan minuman. Itu sebabnya ayam selalu menengadah ke atas usai menerima makanan dan minuman. Hal itu dilawankannya dengan perilaku monyet saat menerima makanan. Tidak ada indikasi monyet yang bersyukur dan ingat pada Tuhan saat mendapatkan rejeki. Amatilah perilaku monyet di kebon binatang. Saat ia menerima makanan adakah ia berterima kasih? Monyet justru berperilaku yang tidak semestinya yakni matanya melotot-melotot dan mulutnya seperti mencibir sambil mengamati makanan yang ia terima. Seolah mau berkata, “Ah, apa ini? Makanan seperti ini yang diberikan? Mengapa hanya segini? Dst. Dsb”
Dengan memaparkan perilaku monyet dan ayam itu rupanya Bapak Kardinal mau menegaskan kepada para calon penerima sakramen krisma untuk mempersaksikan imannya dengan perilaku dan sikap yang tahu bersyukur. Bahwa rejeki, bakat, talenta, atau apa pun yang dianugerahkan Tuhan patut kita hayati sebagai pemberian dari Tuhan dan kita patut bersyukur atasnya. Kita diajak untuk tidak seperti monyet yang selalu mencibir apa yang ia terima. Monyet mau menerima, namun alih-alih berterima kasih, monyet malah meremehkan entah kualitasnya ataupun kuantitas yang ia terima.
Perbedaan ayam dan monyet ini mengingatkan kita pada sikap sepuluh orang kusta yang mendapat karunia kesembuhan dari Yesus dalam Injil Lukas 17: 11-19. Hanya satu yang datang kembali kepada Yesus dan mengucap syukur. Maka Yesus bertanya, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” Bersyukur itu menjadi tanda bahwa seseorang sudi memuliakan Allah atas karunia yang ia terima. Sementara sikap dan perilaku diam (bahasa Jawa: ngglenes) adalah sikap yang tidak memuliakan Allah atas apa yang ia terima dari Tuhan. Itulah yang dalam kisah ayam dan monyet pun menjadi jelas. Kalau ayam saja bisa bersyukur dan memuliakan Tuhan dengan perilakunya yang selalu menengadah ke atas, masakan kita manusia yang telah menerima sedemikian banyak karunia, bakat, dan talenta diam saja atau mungkin malah mencibir karena kita lebih suka membanding-bandingkan apa yang kita terima dan miliki dengan apa yang diterima atau dimiliki oleh orang lain. Akibatnya kita malah menjadi orang yang tidak memuliakan Allah atau seperti monyet yang mau menerima pemberian tetapi atas pemberian bukannya kita bersyukur tetapi malah mencibir pada sang pemberi.
Tentu saja wujud syukur perlu kita wujudkan dalam perihidup kita misalnya dengan self-improvement (pengembangan diri) entah berkenaan dengan cognisi, afeksi, refleksi, maupun aksi nyata yang menurut Yustinus Prastowo disingkat CARA. Selamat mengembangkan sikap mudah bersyukur agar kita tidak layak disebut monyet gegara kita sulit bersyukur dan mudah mencibir alias suka berkeluh kesah melulu seperti monyet.