The Power of Love
Oleh: Arcadius Benawa
Alkisah setelah ditolong oleh Uskup Myriel, Jean Valjean menjadi manusia baru. Dulu dia narapidana, tetapi kini dia sudah bebas menghirup udara di luar penjara. Ia termotivasi oleh kata-kata terakhir Bapak Uskup Myriel, “Valjean, aku telah mengembalikan engkau kepada Dia yang mengasihimu. Engkau telah berjanji ingin menjadi manusia baru. Hiduplah dalam terang kasih Tuhan!”
Sejak saat itu hidup Valjean berubah. Dengan bantuan harta perak berharga dari Bapak Uskup Myriel, Valjean membangun kota Vigo dan mendirikan pabrik bata. Banyak pekerjanya ditolong dari perusahaannya itu.
Alkisah ada satu buruhnya bernama Fantine. Dia dikeluarkan oleh mandornya karena ketahuan punya anak tanpa suami. Akibatnya, karena tanpa pekerjaan Fantine harus menghidupi anaknya, Cossete yang dititipkan pada keluarga Thernadiere yang rakus.
Fantine pun terpaksa memasuki dunia prostitusi yang keras dan kejam. Karena dilecehkan laki-laki, Fantine melawan dan ia pun ditangkap polisi. Saat itu mantan majikannya, Madeleine, yang tidak lain adalah Valjean menolongnya. Bahkan ketika Fantine sakit, Valjean membawanya ke rumah sakit dan merawatnya. Dengan penuh kasih, Valjean berjanji akan menjemput Cossette agar bersatu kembali dengan Fantine, ibunya. Namun sebelum anak itu diambilnya, Fantine keburu meninggal. Cossette kemudian diangkat sebagai anak oleh Valjean.
Perbuatan Valjean ini mengingatkan kita pada Orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria yang dianggap “musuh” justru menolong orang yang dirampok itu dengan kasih yang tulus. Ia membawa si korban penganiayaan ke penginapan, dan masih memberi uang kepada empunya penginapan. Bahkan berpesan, “Jika masih kurang, ia berjanji membereskannya setelah kembali.”
Orang Samaria yang baik hati karena penuh kasih itu dilawankan dengan seorang imam dan Lewi yang melihat orang menderita kesakitan tetapi tidak berbuat apa-apa, berkelit di balik alasan tugas suci yang harus diembannya. Rupanya status, jabatan, kekayaan dan kekuasaan malah bisa membelenggu, sehingga tidak menjamin orang punya kasih yang tulus.
Justru orang yang dianggap “musuh” dan disingkiri malah amat kasih dan tergerak hatinya oleh kasihnya kepada saudara yang menderita, kendati beda suku, beda asal usul, beda keyakinan agama/kepercayaannya.
Jujur harus kita akui bahwa kita mudah menilai orang hanya dari permukaan, kulitnya, tampilan lahiriahnya, status atau jabatannya saja. Padahal belum tentu orang dengan status atau pakaian atau jubah agama dan mulutnya sering menyebut nama Allah memiliki kasih. Sementara, di sekitar kita banyak orang menderita yang membutuhkan uluran kasih kita.
Mother Theresa terkenal dengan ungkapannya, “Perbuatlah hal-hal kecil dan sederhana dengan kasih yang besar!” Maka, marilah kita membangun kasih karena kekuatan kasih sanggup melihat kepada siapa kita harus berbuat, yakni mengasihi yang menderita, yang kecil, tersingkir, miskin, lemah, dan difabel. Marilah kita tidak lagi mengagung-agungkan tampilan luar bila justru menipu atau menjadi sarana persembunyian untuk mengungkapkan kasih yang powerful itu. Mudah-mudahan dengan demikian kita pun terbilang sebagai orang Samaria yang baik hati, yang berani meninggalkan urusan pribadi demi mengasihi orang yang lebih membutuhkan uluran tangan, doa, dan dana dari kita.