Memberi Dari Hati Dalam Bahasa Sebagai Rumah Bersama
Oleh: Yustinus Suhardi Ruman
Ada dua julukan terhadap manusia dalam dalam konteks hakekatnya sebagai mahluk sosial. Julukan pertama dikenal dengan terminologi homo homini socius, atau manusia adalah kawan bagi manusia yang lainnya, lalu julukan kedua dikenal dengan istilah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya. Kedua julukan itu mencerminkan orientasi manusia pada dua ujung yang berseberangan. Pada ujung seberang sana ada persekutuan, solidaritas, cinta, kebahagiaan, kerja sama. Namun sebaliknya, pada ujung sini, ada pertentangan, saling meniadakan, konflik, pertikaian yang penuh peluh darah dan duka.
Julukan pertama bersumber dari pandangan bahwa secara alamiah (natural law), oleh hukum Ilahi manusia selalu ingin hidup bersama dengan yang lainnya. Dalam teorinya tentang negara, John Locke (1632-1704) misalnya mengatakan “manusia hidup bersama sesuai dengan pertimbangan nalar mereka, tanpa adanya pihak-pihak yang beroposisi di antara mereka …..”(Russel, 2204, edisi Indonesia).
Locke beranggapan bahwa “nalar” berisi tentang tata perilaku manusia yang diyakini bersumber dari Tuhan. Pada kerangka hukum alam itu, manusia hidup secara setara dalam kebebasannya. Namun, dalam kebebasan itu, manusia tidak bebas untuk menghancrukan dirinya sendiri, dan juga orang lain. Hanya inilah yang membatasi kebebasan manusia yaitu tidak menghancurkan kehidupannya sendiri serta orang lain.
Kencederungan untuk hidup bersama dengan orang lain dalam prinsip homo homini socius tidak hanya berasal dari asumsi-asumsi filosofis. Pandangan yang sama dapat juga kita temukan dalam ilmu biologi sel. Bruce Limpton (2019, edisi Indonesia) misalnya menggambarkan manusia sebagai komunitas sel-sel cerdas yang dapat dan saling bekerja sama antara satu dengan yang lainnya. Setiap komunitas sel memiliki diferensiasi fungsi dan peran.
Secara deskriptif, penjelasan Limpton tersebut dapat diilustrasikan pada tubuh manusia yang terdiri dari bagian-bagian organik dengan fungsi dan perannya masing-masing. Bagian-bagian organik ini merupakan gambaran komunitas sel. Telinga adalah komunitas sel, mata adalah komunitas sel, mulut adalah komunitas sel, lambung, jantung, paru-paru dan seterusnya. Komunitas-komunitas sel ini membangun kerja sama antara satu dengan yang lainnya. Telinga membangun kerja sama dengan mata, mata membangun kerja sama dengan kaki, tangan. Atau lambung membangun kerja sama dengan mulut, tenggorokan. Jatung bekerja sama dengan darah, otak dan seterusnya. Kesatuan kerja sama inilah yang membentuk manusia, dan dengan menjadi manusia, peluang hidup bagi sel-sel itu menjadi lebih baik.
Kalau manusia secara individual adalah cerminan dari sel-sel cerdas, maka homo homini socius adalah cerminan dari individu yang tidak lain merupakan kesatuan fungsi dan peran dari komunitas-komunitas sel. Dengan menjadi homo homini socius tingkat kecerdasan sel itu terus tertumbuh, berkembang dan oleh karena itu peluang untuk hidup dan tetap bertahan dalam menghadapi berbagai tekanan hidup menjadi lebih baik.
Gambaran sel cerdas sebagaimana diuraikan tersebut, memantapkan keyakinan Bruce Limpton bahwa kita manusia mampu menciptakan kehidupan yang damai, bahagia dan penuh cinta. Sebuah kehidupan yang jauh dari proses sosial saling meniadakan, penuh darah dan duka. Sebab, kita adalah kumpulan dari sel cerdas.
Namun, ada sisa satu pertannyaan, bagaimanakan sel-sel cerdas itu dapat membentuk komunitas sel, lalu kemudian komunitas sel membentuk organisma individu? Masih dalam buku yang sama, Limpton menerangkan bahwa cinta adalah potensi yang memungkinkan sel-sel itu dapat membentuk komunitas.
Penjelasan Bruce Limpton yang diuraikan secara sederhana tersebut dapat menjadi dasar argumentasi biologis bahwa manusia secara alamih memang ditakdirkan oleh sang Ilahi untuk selalu hidup dan berada bersama dengan lainnya. Semakin ada kesempatan untuk hidup bersama dengan yang lainnya, semakin besar pula peluang bagi manusia untuk bertahan, bertumbuh dan berkembang menjadi lebih manusiawi. Manusia yang digambarkan serupa dengan Allah. Serupa, artinya tidak sama dengan Allah. Namun, manusia dapat menjadi serupa dengan Allah, tentu tidak dalam fisiknya, tetapi dalam tindakan dan orientasi hidup yang tertuju pada usaha-usaha kreatif mendukung dan mencipatakan kehidupan. Agama, terutama dalam tradisi kristen menyebutnya dengan menusia imago dei.
Hidup bersama dengan orang lain atau berada bersama dengan orang lain, co-existence tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan-kebutahan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Bukan juga sekedar sebagai jaminan keamanannya sebagai individu. Lebih dari itu, hidup bersama dengan orang lain sungguh mengelevasi kemanusiaan. Dalam hidup bersama orang bertumbuh secara mental dan moral yang khas manusiawi. Dalam hidup bersama dengan orang lain, manusia menciptakan dirinya sebagain gambaran dari Allah yang penuh welas asih.
Secara singkat dan sederhana, sudah dijelaskan hakekat homo homini socius. Sekarang kita beralih pada titik seberang lain dari kecenderungan orientasi hidup manusia yakni homo homini lupus. Julukan ini menjadi sangat terkenal sejak Thomas Hobbes (1588-1679) seorang filsuf dalam bidang filsafat politik dari Inggris. Terminologi itu adalah terminologi latin yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “a man is wolf to man” atau dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan “manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya.”
Hobbes menjelaskan bahwa dalam keadaan alami di satu sisi hidup manusia diciri oleh ketakutan dan kecemasan seorang terhadap yang lainnya. Dalam ciri yang demikian, pada sisi lainnya manusia hidup tanpa hukum, tanpa negara, tidak ada pembatasan moral, tradisi, atau agama. Dua sisi kehidupan ini mendorong manusia ke dalam apa yang disebutnya sebagai “bellum omnium, contra omnes.” Perang semua lawan semua. Hobbes menggambarkan manusia sebagai individu yang anti sosial. Kehidupan bersama selalu menciptakan ancaman, penegasian, atau kematian.
Coba anda banyangkan saat berhadapan dengan orang lain. Banyangkan orang itu adalah serigala. Berhadapan dengan srigala anda dihantui oleh kecemasan dan ketakutan kalau-kalau dalam kelengaan anda akan dimangsanya. Dalam kondisi demikian hanya ada dua kemungkinan yang dapat anda lakukan untuk mempertahankan diri. Pertama lari secepat mungkin. Anda mengerahkan seluruh tenaga yang anda punyai untuk berlari menjauh dan sejauh mungkin. Namun dalam proses pelarian itu, pikiran anda dihantui bahwa anda terkejar. Alih-alih dapat menghindar jauh, anda akan menderita lemas tidak bertenaga. Lalu, anda memilih cara yang kedua. Anda bangkit menyerang dan menyerang dengan harapan anda akan memenangi pertarungan itu. Namun, tidak ada jaminan anda akan memenangi pertarungan tersebut.
Kedua pilihan di atas sama-sama membawa manusia kepada kematian. Namun, meski demikian, pada manusia secara alamiah memiliki naluri untuk mempertahankan hidup. Naluri ini memungkinkan manusia untuk bisa berada bersama, lalu menciptakan masyarakat atau negara. Negara atau masyarakat itu mesti memiliki kekuasaan yang lebih besar dari setiap individu. Sebab dengan kekuasaan yang besar itu, ia dapat menjamin ketenteraman setiap individu. Jadi masyarakat atau negara lahir bukan dalam pengertian pencapain moral tertinggi umat manusia, melainkan cerminan watak dasar manusia yang cenderung berusaha menguasai sesamanya manusia.
Dalam pandangan Hobbes, hidup bersama dengan orang lain tidak didasari oleh dorongan cinta, tetapi oleh rasa takut, dan kecemasan. Tentu semua kita tahu, ketakutan dan kecemasan selalu akan menciptakan toleransi terhadap penggunaan kekerasan oleh masyarakat atau oleh negara demi ketertiban umum. Masyarakat atau negara memiliki kekuasaan absolut.
Kemudian dengan gambaran yang hampir sama dengan Hobbes dapat kita temukan dalam pandangan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) dalam penjelasannya mengenai prinsip dialektika hidup manusia dalam sejarahnya. Ia menjelaskan bahwa manusia memiliki kencenderungan untuk saling menguasasi, meniadakan dan bahkan menghancurkan.
Hegel (Lavine, 2020, edisi Indonesia) menjelaskan bahwa kita adalah mahluk hidup yang menginginkan penguasaan terhadap yang lainnya. Penguasaan dalam penjelasan Hegel adalah tujuan hidup manusia. Dalam penguasaan itu, kita meniadakan dan bahkan menghacurkan yang lainnya. Sebaliknya juga. Manusia yang lainnya pun melakukan hal yang sama terhadap kita. Di satu pihak kita berusaha untuk menguasai, meniadakan, menghancurkan orang yang lainnya, lalu sebaliknya juga, pada pihak lain, orang lain berusaha untuk meniadakan dan menghancurkan kita. Sejarah manusia, terang Hegel adalah sejarah dialektika. Sejarah saling meniadakan, saling menghancurkan. Hegel menyebutnya sebagai prinsip kematian.
Dalam pengalaman hidup sehari-hari kita tidak dapat menyangkal penjelasan Hobber dan Hegel meski secara parsial, dan total. Tidak kurang kita berpengalaman hidup dalam situasi yang penuh dengan ketegangan dan curiga satu terhadap yang lainnya. Dalam ketegangan itu, kita tergoda untuk saling meniadakan melalui tidak kehidupan bersama yang berakhir, tidak saling tergur sapa dan bahkan saling mengkianati.
Kencederungan manusia untuk saling meniadakan, bersaing dengan peluh darah dan duka sebagai mana yang dijelaskan secara filosofis oleh Thomas Hobbes dan George Wilhelm Friedrich Hegel di atas, juga dapat kita temukan dalam ilmu biologi khususnya dalam teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin (1809-1882), seorang naturalist, geologist, dan biologist.
Sifat alamiah manusia yang cenderung saling menegasikan, saling bertarung satu sama lain dengan peluh dan darah merupakan ekspresi dari apa yang disebut oleh Darwin sebagai struggle for existence (2007, edisi Indonesia). Dalam perjuangan mempertahankan eksistensi tersebut hanya spesies yang unggul saja yang dapat bertahan. Inilah yang disebutnya sebagai survival of the fittest. Menurut Darwin, the survival of the fittest merupakan bagian dari seleksi alam. Sesuatu yang alamiah. Dengan cara itu, setiap spesies menjaga kelangsungan hidupnya sampai pada generasi berikutnya.
Kecenderungan untuk saling meniadakan atau sekurang-kurangnya peristiwa saling meniadakan itu dianggap sebagai bagian dari struggle for existence untuk kelangsungan hidupnya seperti yang dijelaskan oleh Darwin, dapat juga dijumpai dalam teori Richard Dawkins (2018) tentang the selfish gen. Dawkins mengatakan bahwa kita dan semua hewan lainnya adalah mesin yang diciptakan oleh gen kita. Gen yang berhasil bertahan dalam dunia yang penuh dengan persaingan. Dawkins menegaskan kualitas utama yang diharapkan pada gen yang sukses untuk bertahan adalah keegoisan tanpa ampun (ruthless selfishness). Oleh karena itu dengan penuh keyakinan Dawkins mengakui bahwa cinta universal dan kesejahateraan spesies secara keseluruhan adalah konsep yang sama sekali tidak masuk akal secara evolusioner.
Dua pandangan yang bertolak belakang tentang manusia sebagaimana yang dideskripsikan di atas memiliki titik persinggungan yang sama yaitu bahwa manusia secara alamiah memiliki naluri untuk survive. Manusia memiliki dorongan alamiah untuk melestarikan hidupnya. Meskipun jalan untuk sampai pada pelestarian itu ditempuh dengan berbagai cara dan jalan. Ada jalan cinta yang penuh roman, namun ada juga jalan persaingan dengan peluh darah dan duka.
Berangkat dari titik persingungan itu, pertannyaan yang harus kita ajukan dan temukan penjelasannya adalah bagaimanakah hidup bersama yang dilahirkan oleh cinta itu bertahan dan lestari? Atau bagaimanakan kehidupan bersama yang dilahirkan dari ketakutan, kecemasan atau egoism itu bertumbuh menjadi cinta yang membebaskan?
Tentu ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan ini. Jawaban bisa ditemukan dalam ajaran agama yang bersumber dari Kitab Suci. Atau juga penjelasan atas pertanyaan itu dapat ditemukan dalam buku-buku sosiologi dasar tentang pentingnya nilai dan norma social dalam masyarakat, atau dalam pelajaran ilmu politik pentingnya negara yang kuat dalam sistem demokrasi. Sebuah sistem yang memungkin hak-hak asasi manusia dapat dilindungi. Dalam sistem demokrasi ini, manusia dapat belajar untuk saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya tanpa rasa takut, atau cemas sebab negara akan bertindak imparsial atas setiap proses social yang mereka lakukan.
Dalam uraian ini saya menaruh perhatian pada pentingnya bahasa dalam setiap proses sosial yang dijalankan oleh setiap individu saat membangun kehidupan bersama. Ada dua penulis mempengaruhi perhatian saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama adalah buku berjudul ‘Bahasa Rumah Kita Bersama” (2021). Buku ini merupakan karya Porat Antonius. Lalu buku kedua berjudul “Nonviolent Communication: A Language of Life” (2003). Buku ini merupakan karya
Porat Antonius dalam buku itu menggambarkan bahwa bahasa adalah rumah bersama. Berkaitan dengan ini, mengikuti Norman Geras (Karsten J. Struhal, 2016) dapat dijelaskan bahwa bahasa bukan milik seorang individu. Bahasa adalah adalah properti sosial dan merupakan fenomena kolektif. Tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim kepemilikan bahasa. Bahasa dalam konteks ini mencerminkan potensi kesetaraan setiap umat manusia. Ada banyak hal dalam kehidupan manusia yang dapat diklaim kepemilikannya dan dapat diakui dan ditolak keberadaanya. Namun, bahasa adalah kekecualian. Semua orang dapat berbahasa, belajar dan menggunakan kata-kata yang sama. Baik homo homini socius, maupun homo homini lupus memiliki kesempatan yang sama untuk sama-sama menggunakan bahasa yang sama.
Namun, meskipun demikian bahasa sebagai rumah bersama tidak dengan sendirinya dapat mencipakan kehidupan bersama yang lebih baik. Tidak ada jaminan bahwa orang yang tinggal dalam rumah yang sama dapat hidup secara harmoni. Secara artifisial kita dapat mengalami bahwa bahasa yang sama tidak dengan sendirinya menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam konteks ini, kita dapat menerima bahwa bahasa sebagai rumah bersama adalah prinsip dasar meskipun bukan satu-satunya yang memungkinkan manusia dapat hidup bersama secara harmonis. Tentang gejala ini, Porat Antonius dalam bukunya tersebut mengingatkan bahwa bahasa saja tidak cukup. Atau kita dapat merumuskan berada dalam rumah bahasa yang sama saja tidak cukup. Dengan demikian kita membutuhkan sebuah kualitas kehidupan yang lain. Sebuah kualitas yang dapat menciptakan bahasa sebagai rumah bersama itu sungguh menciptakan kehidupan yang lebih baik dan harmonis.
Mendeskripsikan pendangan Heidegger (1993) yang diambil dari Sihotang (2018), Antonius menggaribawahai kualitas lain dari bahasa sebagai rumah bersama. Kualitas itu dalam terminologi Heidegger adalah intelligibility. Intelligibility dapat dimaknai sebagai bahasa atau berbicara sebagai prototipe bahasa yang dapat dipahami. Setiap orang harus berada dalam frame makna yang sama. Dalam frame yang sama itu, setiap simbol yang digunakan dalam sebuah percakapan dapat dipahami.
Gagasan Heiddeger seperti yang dideskripsikan oleh Antonius tentu sangat ideal. Sebab dalam prakteknya, setiap komunitas menciptakan makna yang berbeda atas kata yang sama, atau kata yang sama akan diucapkan dengan intonasi dan suara yang berbeda. Sebuah perbedaan yang melahirkan perbedaan makna. Ini berarti intelligibility saja tidak cukup untuk menjadikan bahasa sebaga rumah bersama yang menjanjikan surga di dunia kehidupan sehari-hari. Masih ada kualitas lain yang harus dikuasai untuk melengkapi intelligibility tersebut. Kualitas itu adalah pengertian, atau understanding. Understanding dipahami sebagai sebuah sikap keterbukaan. Ibarat sebuah pintu rumah yang terbuka. Melalui pintu rumah itu setiap orang dari dalam dapat keluar dan memahami dunia luar, dan orang dari luar dapat memahami dunia di dalam rumah.
Bersumber dari dua kualitas berbahasa (intelligibility dan understanding) tersebut, Antonius menggarisbawahi makna dasar berbahasa sebagai sebuah kebenaran, cinta dan kasih yang menyatukan. Tanpa kebenaran dan cinta ini relasi tidak akan terjadi meski berada dalam rumah yang sama. Menurut Antonius, intelligibility dan understanding yang dapat menciptakan makna kasih inilah yang memungkinkan bahasa digunakan dan hadir sebagai alat komunikasi. Alat yang menyatukan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia kehidupannya. Kesatuan akan terjadi kalau di dalam berbahasa itu ada kebenaran, cinta atau kasih.
Senada dengan penjelasan Porat Antonius yang dipengaruhi oleh Martin Heidegger tersebut Marshall B. Rosenberg melalui buku Nonviolent Communication (2003) menjelaskan pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia. Bahasa yang dimaksudkan adalah bahasa yang bebas dari kekerasan. Bahasa seperti ini dalam konteks Heidegger seperti yang dijelaskan oleh Antonius hanya menjadi mungkin bila ada kebenaran, cinta dan kasih. Dalam terminologi Rosenberg disebut sebagai bahasa welas asih atau dalam bahasa Inggris seperti yang digunakan oleh penulisnya disebut sebagai “compassion”
Secara praksis, menurut Rosenberg bahasa welas asih dapat dicapai melalui beberapa tahapan strategik seperti observation, feeling, needs dan request. Dalam sebuah percakapan observasi menjadi sangat penting. Kepentingannya terletak pada fakta bahwa setiap orang memiliki kerangka makna yang berbeda meski atas kata dan bahasa yang sama. Perbedaan ini dapat diciptakan oleh budaya dan pengalaman hidup yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya.
Perbedaan pengalaman menciptakan perbedaan makna atas kata dan bahasa yang sama. Dalam kondisi seperti ini orang memerlukan sebuah kejelasan berbahasa. Melalui jalan observasi setiap orang memiliki kesempatan untuk meminta klarifikasi atau mendapatkan klarifikasi simbol atau kata yang digunakan dalam sebuah percakapan. Dalam proses klarifikasi ini setiap pihak tidak berusaha untuk saling menilai, sebab tujuan utama dan terutama dari observasi adalah klarifikasi untuk sebuah kejelasan.
Dalam observasi itu kita dapat mengungkapkan apa yang kita rasakan, apakah kita Bahagia, senang, takut, atau terluka? Dengan pengungkapan persaan ini setiap pihak dapat menentukan apa yang dibutuhkan, need agar tujuan bersama dapat dicapai. Lalu tahap terakhir adalah permintaan, request untuk atas dasar kejelasan, perasaan terungkap dan kebutuhan bersama. Kata dan bahasa welas asih dapat diciptakan melalui tahapan-tahapan itu. Namun, tahapan-tahapan itu hanya dapat kita lalui kalau kita memiliki apa yang disebut oleh Rosenberg, giving from the heart, memberi dari hati. Dengan memberi dari hati kita dapat melalui empat tahap itu secara jujur dan penuh empati.
Bahasa yang penuh welas asih yang lahir dari intensi yang penuh cinta, bahasa yang didorong untuk terbuka, bahasa yang bersumber dari dorongan untuk selalu memberi dari hati memungkinkan bahasa menjadi rumah bersama rumah yang melestarikan homo homini socius, dan rumah yang menumbuh-ubahkan homo homini lupus menjadi homo homini socius.
Referensi
Bertand Russel (2004), Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bruce Liptom (2019), The Biology of Belief, Misteri Pikiran, Keyakinan, Sel, dan DNA, Serpong: Javanica
Charles Darwin (2007), The Origin of Species (edisi Indonesia), Jakarta: Penerbit Obor Indonesia
Marshall B. Rosenberg (2003), Nonviolent Communication: A Language of Life, Encinitas, CA: Puddle Dancer Press
Porat Antonius (2021), Bahasa Rumah Kita Bersama, Jakarta: Penerbit Gramedia
T.Z.L. Lavine (2020), From Socrates to Sartre, The Philosophic Quest (edisi Indonesia), Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus
Ricahard Dawkins (2018), The Selfish Gen (edisi Indonesia), Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)