Hasta Brata Sebagai Eco-Leadership
Oleh: Dr. Arcadius Benawa
Ilmu Hasta Brata adalah ilmu warisan leluhur yang amat luhur yang terdiri dari delapan unsur sikap atau watak yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Kedelapan unsur atau sifat atau watak itu mengacu pada alam. Oleh karena itulah saya istilahkan hasta brata itu sebagai eco-leadership.
Dalam kisah Ramayana ilmu hasta brata ini disampaikan sebagai wejangan Prabu Rama Wijaya kepada Raden Gunawan Wibisana sebagai bekalnya untuk menjadi raja Singelapura, sebuah kerajaan baru sebagai transformasi kerajaan lama Alengkadiraja yang dipimpin oleh raja lalim sebelumnya yakni Raden Rahwanaraja.
Hasta sendiri berarti delapan dan brata artinya ajaran tentang sifat atau watak atau karakter. Kedelapan sifat kepemimpinan yang mengacu pada alam atau eco leadership itu adalah sebagai berikut ini.
Yang pertama; Kadya Surya (Seperti Matahari).
Dua sifat dasar dari matahari adalah sinar cahaya yang menerangi dan menghangatkan.
Oleh karena itu seorang pemimpin harus mampu menjadi terang bagi rakyat dan negerinya. Ia harus mampu mengurai persoalan negeri yang pasti akan muncul setiap saat. Seorang pemimpin harus bisa menjadi tauladan bagi nayaka praja atau segenap pejabat pemerintahan maupun kawula atau rakyat pada umumnya.
Seorang pemimpin juga harus mampu menjadi pencerah serta mampu memberi ‘solusi’ bagi setiap persoalan, sebagaimana matahari yang mampu menghalau kegelapan.
Sifat matahari yang kedua adalah hangat. Seorang pemimpin harus bisa memberi semangat dan ‘motivasi’ kepada para nayaka praja atau pejabat pemerintahan dan kawula atau rakyat untuk bersama-sama membangun negeri. Seperti halnya setiap makhluk hidup pasti membutuhkan hangatnya sinar matahari untuk tumbuh dan berkembang, demikian pula hendaknya seorang pemimpin harus mampu menumbuhkan tekad nayaka praja atau pejabat pemerintahan dan kawula atau rakyat agar bisa saiyeg saeka kapti atau kompak atau solid demi membangun negeri.
Yang kedua; Kadya Candra (Seperti Rembulan)
Sifat rembulan itu indah, teduh, rukun, tenang, tenteram dan damai, cinta dan kasih serta menjadi penerang dalam kegelapan.
Demikian pula hendaknya, seorang pemimpin harus menjunjung tinggi keindahan dan peradaban, sehingga ia disukai setiap orang. Ia hendaknya juga mampu bersikap tenang dan teduh dalam menghadapi setiap persoalan. Ia akan menjadi orang yang berwibawa dan disegani, bukan ditakuti, apalagi dibenci dan dimusuhi.
Seorang pemimpin juga harus mampu menciptakan rasa aman, tentram dan damai bagi rakyat dan negerinya. Seorang pemimpin juga harus mampu menciptakan kerukunan bagi rakyat dan negerinya. Seorang pemimpin mesti menganggap anggota atau warganya adalah sebagai kekasihnya yang harus dibahagiakan lahir dan batinnya.
Yang ketiga; Kadya Kartika (Seperti Bintang)
Bintang di langit tak terhitung jumlahnya, berkelap-kelip indah dipandang. Demikian pula seorang pemimpin, bukan pemimpin yang menakutkan namun yang membuat terpesona siapun yang memandangnya.
Bintang juga merupakan petunjuk arah di malam hari. Jika Lintang Jakabelek atau bintang panjar sore masih tampak, artinya hari masih sore. Jika Lintang Panjer esuk atau bintang panjar pagi sudah tampak, artinya hari sudah pagi. Sedangkan Lintang Gubug penceng atau bintang yang berbentuk gubug miring pasti berada di arah selatan agak ke barat. Ini bisa menjadi pedoman arah mata angin. Lintang Gubug penceng membantu setiap orang, agar tidak kehilangan arah. Sedangkan bintang-bintang yang lain bisa memberi petunjuk tentang musim. Hukum alam tidak pernah lalai mengarungi zaman.
Walau bintang-bintang itu kadang tertutup oleh mendung, namun mendung pasti akan tersaput angin.
Demikianlah hendaknya seorang pemimpin, ia harus bisa menjadi pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat. Jika rakyat kehilangan arah atau pedoman berkehidupan dalam bermasyarakat, seorang pemimpin harus mampu memberi pencerahan.
Seorang pemimpin juga harus selalu menjadi pemegang hukum tertinggi di negeri, sehingga ia tidak boleh lalai dalam menjalankan/menegakkan hukum.
Setiap negeri pasti memiliki permasalahan, namun jika seseorang pemimpin itu bijak dalam menjalankan kepemimpinannya, permasalahan pasti akan terpecahkan.
Yang keempat; Kadya Samirana (Seperti angin atau udara)
Keberadaan udara tidak terlihat, namun dapat dirasakan oleh siapapun. Tidak ada kehidupan yang tidak memerlukan udara. Udara yang bergerak menjadi angin. Samirana adalah angin yang sepoi-sepoi, yang menyejukkan suasana. Suasana yang gerah akan musnah dihembus oleh angin sepoi-sepoi.
Udara akan mengisi di setiap relung yang kosong. Tiada tempat yang tidak terisi oleh udara.
Demikian pula hendaknya seorang pemimpin. Ia harus mampu hadir di tengah rakyatnya. Tidak harus diawaki sendiri, namun bisa juga melalui nayaka praja atau perangkat pemerintahan yang hadir di setiap pemerintahan, bahkan di jajaran yang paling rendah sekalipun. Para pamong praja di tingkat desa adalah wujud kehadiran seorang pemimpin negeri. Kehadiran para pamong praja adalah untuk menghidupi dan menghidupkan rakyat di wilayah tersebut. Mereka harus mampu menghidupkan roda ekonomi masyarakat, mereka harus mampu menegakkan hukum negeri. Mereka, para pamong praja adalah wakil kehadiran pemimpin negeri, mereka harus mampu menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat.
Seorang pemimpin harus bisa menjamin bahwa tidak ada seorang pun anggota yang tidak terlayani.
Yang kelima; Kadya Tirta (Seperti Air)
Ada beberapa watak air yang bisa menjadi contoh bagi seorang pemimpin.
Air memiliki sifat yang menghidupi apapun makhluk hidup di bumi ini dan sangat dibutuhkan oleh manusia.
Air yang murni akan bening dan tak berasa.
Air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, namun air juga mampu merembes ke tempat yang lebih tinggi.
Air yang dalam permukaannya akan datar dan tenang.
Air akan selalu menyesuaikan dengan wadahnya.
Air akan mampu meresap ke celah-celah yang sempit sekalipun.
Air mampu larut di berbagai macam benda.
Demikianlah seorang pemimpin, harus bisa memberi hidup dan kehidupan yang mensejahterakan rakyat. Seorang pemimpin senantiasa dibutuhkan oleh rakyat.
Seorangpemimpin juga harus senantiasa seperti air yang bening, memiliki watak yang suci murni, tulus, jujur dan apa adanya serta rendah hati bagai air yang tak berasa.
Seperti air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah, demikianlah seorang pemimpin harus mau turun ke bawah, tidak hanya duduk di menara gading. Ia harus menyelami kehidupan rakyatnya yang paling bawah sekalipun.
Air juga senantiasa menyesuaikan dengan bentuk wadahnya. Di dalam gelas ia akan serupa gelas, di dalam botol ia akan serupa botol. Demikian pun hendaknya seorang pemimpin, ia harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan, tempat, dan situasi.
Air yang dalam permukaannya akan tenang, seperti pepatah “air beriak tanda tak dalam”.
Seorang pemimpin harus matang pembawaannya. Ia mesti tenang, sabar dan cermat dalam menghadapi setiap persoalan. Ia berbicara seperlunya dan tak perlu berkeluh kesah.
Air juga mampu meresap ke dalam celah-celah yang sempit sekalipun. Demikian pula seorang pemimpin harus teliti dan cermat sampai ke persoalan yang kecil sekalipun.
Air juga mampu larut dalam berbagai macam benda lain. Seorang pemimpin harus mampu manjing ajur-ajer atau menyehati dan rasa dengan rakyatnya. Ia harus mampu merasakan apa yang dirasakan oleh warganya. Jika warganya sedang mengalami bencana, tak selayaknya ia berpesta pora. Semisal, warganya sedang di barak pengungsian karena korban gempa, seorang pemimpin harus tak segan untuk ikut merasakan sebagai seorang pengungsi, ikut berkemah seperti pengungsi yang lain.
Yang keenam; Kadya Samodra (Seperti lautan)
Lautan yang sangat luas yang mampu menampung apapun yang mengalir dari seluruh sungai dari daratan.
Laut juga menampung seluruh kehidupan ikan laut dari berbagai macam jenis.
Demikianlah hendaknya, seorang pemimpin harus berhati lapang dan luas. Ia harus mampu menampung segala keluh kesah dan permasalahan rakyatnya. Ia mesti berwatak sabar dan sareh, bahkan ketika harus menghadapi ‘protes dan demo’ dari rakyatnya sendiri. Ada ungkapan; hatinya seluas samudra.
Berbagai jenis ikan hidup di samudra. Demikian pula hendaknya, seorang pemimpin adalah tempat ngindung kawula yang nunut mulya – ikut menikmati kehidupan mulia. Bahkan seluruh negeri itu haruslah tempat yang nyaman dan aman bagi segala golongan, suku, ras dan kepercayaan.
Yang ketujuh; Kadya Dahana (Seperti Api)
Watak api adalah hangat atau panas, tegas, lugas, tuntas dan tidak pandang bulu.
Demikian pula hendaknya seorang pemimpin, ia harus bisa mematangkan masakan. Permasalahan tidak ada yang mentah atau menggantung, harus bisa dituntaskan oleh pemimpin, sehingga tidak berlarut-larut.
Seorang pemimpin atau seorang raja juga harus mampu menghangatkan suasana yang beku dan kaku, sehingga tercipta gairah dan optimisme yang penuh harapan.
Watak api adalah tegas, tidak plin-plan dan tidak pandang bulu. Seorang pemimpin harus tegas dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Setiap keputusannya mudah dipahami dan tidak ‘multi tafsir,’ sehingga ada celah untuk disalahgunakan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Seorang pemimpin harus lugas dalam bertutur kata, tidak bertele-tele yang membuat bingung siapapun yang mendengarkannya.
Seorang pemimpin tidak boleh plin-plan. Ada ungkapan sabda pandhita ratu datan kena wola-wali, yang berarti bahwa setiap kata yang terucap oleh seorang raja/pemimpin harus dipikirkan secara matang tidak boleh berubah-ubah, karena setiap sabda dari seorang raja/pemimpin adalah titah/keputusan. Tidak boleh berlaku pepatah esuk tempe sore dhele, artinya omongannya tidak boleh mencla-mencle atau berubah-ubah.
Api itu memiliki watak tuntas. Api akan membakar sampai habis apapun yang bisa terbakar.
Demikianlah hendaknya seorang pemimpin, ia harus selalu menuntaskan segala permasalahan dan tanggungjawab. Ia tidak boleh menggantung persoalan, maka ia harus memberi jalan keluar yang paling baik. Ia akan menyelesaikan sampai tuntas segala permasalahan.
Seorang pemimpin tidak mengenal kata “gagal” atau “menyerah” sebelum mengerahkan segala kemampuan yang ada.
Watak api juga tidak pandang bulu, ia akan membakar apapun yang bisa terbakar.
Demikianlah hendaknya seorang pemimpin. Ia tidak akan pandang bulu dan pilih kasih. Siapapun yang bersalah harus dihukum sesuai tingkat kesalahannya, meskipun yang bersalah itu adalah kerabatnya sendiri. Hukum harus tidak pandang bulu, semua harus sama di hadapan hukum.
Demikian pula seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih. Siapapun yang berjasa harus diberinya ganjaran sesuai dengan besar kecilnya jasa.
Yang kedelapan; Kadya Bantala (Seperti Bumi)
Watak bumi atau tanah adalah menopang segala makhluk di atasnya, juga memberi dan mendukung kehidupan segala makhluk hidup.
Tanah rela dibajak, dicangkul demi suburnya tanaman.
Bumi tidak akan melawan kodrat alam, bahkan jika harus menanggung bencana sekalipun.
Demikianlah hendaknya seorang pemimpin. Ia harus mampu menjadi tumpuan utama persolan dan hajat hidup seluruh rakyatnya.
Seorang pemimpin juga berkewajiban mensejahterakan warganya. Warga yang makmur sejahtera adalah yang tercukupi sandang, pangan, papan, bagas kewarasan dan mampu menuntut ilmu. Sejahtera yang berarti makmur merata bagi seluruh rakyat negeri.
Seperti tanah yang rela dibajak dan dicangkul, demikian pula seorang pemimpin harus rela berkorban demi kepentingan rakyatnya. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah pilihan utama bagi seorang pemimpin.
Namun demikian, pemimpin sebijak dan sesakti apapun, ia tak akan mampu mengelak dari kodrat. Semisal ia tak akan mampu menghentikan berjalannya sang waktu. Demikian pula umur manusia pun akan berjalan seiring dengan berjalannya waktu. Ketika masih muda gagah perkasa, namun ketika sudah tua akan lemah dan renta.
Demikianlah ilmu hasta brata yang saya istilahkan sebagai eco-leadership, dan saya adaptasi dari kisah Ramayana, khususya dalam kisah saat Raden Rama Wijaya memberi nasihat kepada Raden Gunawan Wibisana sebelum menjadi Raja di Negeri Singgelapura, nama baru, semangat baru dari negeri lama yang penuh angkara murka di bawah kekuasaan Raja lalim Rahwanaraja alias Dasamuka.
Semoga bermanfaat.