Dibalik Layar ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’
Oleh: Meitty Josephin Balontia, M.Han
Dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya (1), Denys Lombard, seorang pakar sejarah Asia Tenggara asal Perancis, memasukkan Raden Ajeng (RA) Kartini sebagai salah satu contoh bagaimana pembaratan di Nusantara terjadi. Sebagai keturunan priyayi, RA Kartini tentu memiliki akses lebih besar terhadap penguasaan bahasa Belanda. Melalui penguasaan bahasa tersebut, Kartini kemudian dapat dengan mudah berkenalan dengan berbagai pengetahuan serta konsep yang berkembang di Barat, salah satunya, konsep kebebasan perempuan. Dengan kata lain, kesadaran akan kebebasan perempuan yang menjadi pergulatan Kartini tidak terlepas dari paparan konsep kebebasan perempuan di dunia Barat.
Sebagai seorang ningrat yang sangat paham betul bagaimana posisi perempuan dalam budaya Jawa, tidak butuh waktu lama bagi Kartini untuk menyadari perbedaan posisi perempuan dalam budayanya dan budaya Barat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa itu, di dunia Barat sendiri, tengah terjadi pergulatan yang kurang lebih sama, dimana ada perjuangan untuk mengangkat posisi perempuan di tengah masyarakat. Masa dimana Kartini hidup yakni, pada akhir Abad 19 hingga awal 20, adalah momen kebangkitan gelombang pertama Feminisme. Tentu menjadi masuk akal jika kemudian, konsep mengenai kebebasan dan perjuangan kaum perempuan hadir dalam berbagai literatur ataupun diskursus di kalangan pecinta pengetahuan di masa itu.
Kembali pada Kartini, pengetahuan akan kebebasan perempuan termasuk didalamnya, akses terhadap pendidikan berbanding terbalik dengan apa yang dituntut budayanya di kala itu. Singkatnya, realitas sosial justru berbeda dengan apa yang ideal, yang dicita-citakan oleh Kartini. Di masa itu, kecenderungan untuk melihat posisi laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan seolah menjadi sebuah pembenaran akan minimnya akses pendidikan bagi kaum perempuan. Akses terhadap pendidikan bagi kaum perempuan yang setara dengan laki-laki inilah yang sangat diharapkan oleh Kartini. Saat ia dilamar oleh Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh sang Bupati adalah mengijinkan Kartini untuk membuka sekolah dan mengajar para putri pejabat di Rembang (Sudrajat, 2018). Syarat ini disambut baik oleh Bupati Rembang, yang kebetulan memang memiliki kecenderungan berpikir moderat.
Kepercayaan Kartini terhadap pentingnya pendidikan perempuan tidak hanya dilatarbelakangi oleh semangat menuntut akses pendidikan yang sama, tetapi lebih daripada itu, dilandasi dengan kesadaran bahwa tugas dari seorang perempuan adalah ikut terlibat dalam pendidikan anak-anaknya. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan seorang anak sangat tergantung pada pengajaran ibunya. Baginya, seorang perempuan haruslah mengenyam pendidikan yang baik agar dapat mendidik anak secara baik pula. Terkait dengan harapan akan pendidikan bagi kaum perempuan, ia menyatakan alasannya dalam surat yang ditujukan pada Prof.Dr. G.K. Anton dan isteri, tertanggal 4 Oktober 1902: “Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama”. (Erdianto, 2021)
Surat di atas hanyalah satu dari surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada para sahabatnya. Melalui surat-suratnya ini, kita dapat melihat bagaimana refleksi kritisnya terhadap adat serta kebiasaan negerinya, khususnya dalam memandang serta menyikapi posisi perempuan. Sepeninggalnya Kartini di usia yang baru menginjak 24 tahun, sahabatnya yang adalah seorang Belanda dan berprofesi sebagai pegawai tinggi di Batavia, Abendanon kemudian berinisiatif untuk menerbitkan kumpulan surat menyurat Kartini dibawah judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada 1911. Yang menarik adalah, buku Habis Gelap Terbitlah Terang, pada awalnya diterbitkan untuk khalayak berbahasa Belanda (dengan 3 kali cetak ulang di antara tahun 1912-1923 di Den Haag) pertama-tama sebagai reaksi kritis terhadap terhadap tradisi Jawa serta sebagai pembenaran politik etis yang saat itu dijalankan oleh pemerintahan Batavia (Lombard, 2018).
Buku tersebut dalam perjalanan sejarah, kemudian diterbitkan di New York pada 1920 dalam bahasa Inggris, kemudian baru diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada 1922, disusul dalam bahasa Sunda (1930) serta Jawa (1938). Bagi Lombard, kronologi buku Habis Gelap Terbitlah Terang ini, merupakan bukti bahwa pemikiran Kartini tidak langsung dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut diperkuat dengan munculnya reaksi negatif terhadap isi dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Lombard mencatat bagaimana pemikiran Kartini oleh kelompok muslim tertentu dianggap terlalu kebarat-baratan dan tidak mengerti Islam. Untuk Lombard, kritikan terhadap pemikiran Kartini dapat dipahami mengingat tulisan Kartini sering jatuh pada keluhan terhadap adat dan kebiasaan negeri sendiri yang tidak sesuai dengan ide pembaharuan yang dibawanya (Lombard, 2018). Lebih lanjut, ‘terang’ yang dimaksud dalam judul buku Kartini, juga lebih mengacu pada budaya Barat.
Dari hal di atas, kita bisa melihat bahwa pandangan Kartini membutuhkan waktu untuk dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Penerimaan terhadap pemikiran Kartini pelan tapi pasti mencapai puncaknya di kala pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 108 Tahun 1964 mengakui Kartini sebagai pahlawan nasional. Kartini kemudian dipandang sebagai panutan dalam memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia dan hari peringatan terhadap perjuangannya diperingati pada tanggal yang sama dengan kelahirannya yakni, 21 April.
Tentu saja, Kartini tidak sempat melihat betapa tulisannya berpengaruh di kemudian hari. Ia juga tentu tidak sempat melihat bagaimana perkembangan pendidikan perempuan di Indonesia, yang meskipun tertatih namun sedikit banyak mengalami perubahan. Apa yang kita lihat saat ini adalah sebuah proses panjang perubahan kesadaran akan pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, termasuk didalamnya, kesetaraan dalam mengenyam pendidikan. Dan proses panjang ini, tak bisa tidak melibatkan sosok Kartini didalamnya. Pelibatan ini tentu perlu dipandang menyeluruh bukan hanya isi dari buku yang berisi gagasan Kartini saja, tetapi budaya serta kondisi sosial dimana tulisan itu dihasilkan. Dibalik karya Habis Gelap Terbitlah Terang ada sebuah pergulatan dari seorang Kartini yang dibesarkan dengan budaya Jawa namun berpengetahuan Barat di masanya. Lebih lanjut, ada sebuah pergeseran pemaknaan dimana awalnya pemikiran Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang dijadikan pembenaran politik etis, kemudian bergeser menjadi sebuah karya yang menunjukkan perjuangan emansipasi wanita Indonesia.
Bibliography
Erdianto, K. (2021, April 21). Kompas.com. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/21/083000865/kartini-dan-sekolah-kartini-impian-wanita-pribumi-dan-utang-rasa-pemerintah?page=all
Lombard, D. (2018). Nusa Jawa Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan) 1 (Edisi Revisi – Cetakan Kelima). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sudrajat. (2018, 04 21). news.detik.com. Retrieved from news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3983655/sejumlah-alasan-mulia-kartini-bersedia-dipoligami