Eulogi Untuk Kawanku, Kang Iqbal Hasanuddin
Oleh: Petrus Lakonawa (BINUS University)
Di forum diskusi resmi, saya ikut menyapanya sebagai Kang Iqbal. Bagi saya panggilan ini memuat rasa asosiasi yang sadar atau tidak sadar saya tautkan dengan makna dalam sapaan Kang kepada Alm. Kang KH Jalaluddin Rakhmat, dan sebagainya.
Di kesempatan resmi lainnya, saya menyapanya sebagai Mas Iqbal karena kami sama-sama dekat dan mengalami secara langsung keteladanan hidup Alm. Mas Dawam Rahardjo, mentor yang berperan laksana ayah kami sendiri. Maka sapaan Kang dan Mas itu saya maknai dengan penuh harapan dalam lubuk hati layaknya panggilan akrab penuh kagum berlambar kasih seperti panggilan Gus dan Cak kepada Alm. Gus Dur dan Alm. Cak Nur lantaran bagi saya Kang Iqbal/Mas Iqbal mewarisi keistimewaan yang ia bangun sendiri dengan tekun untuk melanjutkan legacy orang-orang besar penuh hikmat yang menjadi idola dan panutan lintas sekat yang telah berpulang terlebih dahulu ke-Rahmatullah.
Dalam percakapan personal, kami saling menyapa sebagai kawan ataupun brother secara bergantian. Happy were the times I spent with him. Hari-hari yang saya lalui bersamanya selalu indah, penuh makna dan menagih. Dalam dirinya ada roh yang hangat, ceria, dan terbuka, demikian kesan pertama saat kami bertemu. Kesan itu berkelanjutan dan abadi karena otentisitas dan integritasnya. Pemikirannya adalah dirinya: terbuka, luas, luwes, inklusif, kreatif dan inovatif. Pribadi yang otentik.
Saya kenal Kang Iqbal dari jaringan STF Driyarkara, dan bertemu langsung dalam obrolan hangat, kongkow-kongkow rutin akhir pekan di rumah Pak Petrus Bello, om dan boss saya, pengacara dan konsultan hukum Bello & Partners. Kami berjumpa dan berdiskusi tentang filsafat hukum mulai dari pemikiran Thomas Aquinas, Jeremy Bentham, John Austin, Hans Kelsen, Aldolphus Hart, Devlin, Lon Luvois Fuller, hingga Ronald Dworkin. Dari situ saya makin karib dengan pribadi yang asyik ini. Pemikirannya bestari, bernas, renyah, jernih, mudah dipahami dan dicerna, mudah diingat dan dikembangkan sehingga sangat pantas dianggap sebagai guru. Ia adalah seorang penutur yang selalu sanggup membahasakan gagasannya secara jelas dan terpilah-pilah (clara et distincta). Bahasa tubuhnya hangat, fleksibel dan sangat connecting dan engaging. Itulah karisma-karisma yang sangat saya kagumi dalam dirinya.
Dia pembaca yang sanggup menangkap maksud pengarang dengan lekas, lincah, gesit dan insightful. Ia dengan mudah mencerna pemikiran besar dan rumit dan sanggup membahasakannya secara sederhana. Hal ini membuat dirinya sanggup menguasai banyak tema pemikiran dengan cepat serta sangat produktif dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai media setelah mencernanya dengan baik.
Tapi Kang Iqbal tidak hanya menjadi pemikir konseptual. Ia pun seorang ‘pembangun’, seorang aktivis pergerakan. Dia pandai membangun network dan menjaring orang dari pelbagai kalangan, suka memberikan kesempatan dan panggung bagi siapapun untuk berbagi dan saling memperkaya.
Segera setelah perjumpaan kami di rumah Pak Petrus Bello, ia langsung mengajak saya untuk terlibat dan berbagi dalam Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), sebuah lembaga yang telah menampung passion-nya dengan sangat baik pada kajian-kajian lintas agama dan filsafat. Lembaga ini dirintis dan dikembangkan oleh Mas Prof. Dawam Rahardjo (alm.), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dan Mas Dr. Budhy Munawar Rachman. Kang Iqbal menjabat sebagai Direktur Eksekutif LSAF ditemani beberapa rekan muda lainnya, para pengkaji, pemikir, penulis dan aktivis yang sama-sama sangat menjanjikan: Mas Nanang Sunandar, Mas Yuseph, Mas Acun (Sa’duddin Sabilurrasad), dan Mas Sukron Hadi. Lembaga ini, menurut hemat saya, dengan tradisi dan habituasi berpikir progresif, berdiskusi, menulis, mengambil sikap dan ber-aksi secara rutin semakin membentuk dan mematangkan dirinya.
Keterlibatan saya dalam kegiatan-kegiatan LSAF semakin dalam ketika ia mempromosikan dan menggaet saya untuk terlibat dalam pengembangan program yang sudah lama ia dan teman-temannya galakkan yaitu Living Values Education (LVE), suatu program dan upaya nyata mengintegrasikan nilai-nilai dan keutamaan kehidupan ke dalam pendidikan, ke dalam mata pelajaran dan bentuk pelajaran apapun dalam hidup ini. Bersamanya, kami berkegiatan LVE mulai di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Ciputat dengan rekan-rekan lintas agama, hingga ke Ambon untuk memajukan perdamaian usai pertikaian/kerusuhan Ambon, dan pendalaman LVE di Bali yang juga menghadirkan rekan-rekan Yahudi di Indonesia dan dalam berbagai workshops di komunitas-komunitas binaannya.
Salah satu hal yang membuat saya tertarik dengannya adalah SOLIDARITAS DAN ADVOKASI TERHADAP ORANG-ORANG KECIL DAN TERTINDAS. Ia suka menjangkau kelompok-kelompok yang diperlakukan secara tidak adil seperti komunitas Ahmadiyah, komunitas agama-agama lokal, saudara-saudara LGBTQ, dan sebagainya. Dia pembela Hak-Hak Asasi Manusia. Pembela Kebebasan Beragama (Religious Freedom). Salah satu tulisan kami berdua yang berjudul ‘Indigenous Religions and the Impacts of Biased Politics of Citizenship in Indonesia’dan dimuat di https://www.scitepress.org/PersonProfile.aspx?PersonAccountID=Y2+Xq2ScbaI=&t=1menjadi kenangan istimewa hasil obrolan hikmat dan pengalaman kami tentang rasa solidaritas dan kepedulian atas hidup sulit para penganut indigenous religions di tanah airnya sendiri, di Indonesia.
Tidak hanya berhenti pada tataran diskusi filosofis, teologis yang abstrak dan konseptual, ia, seorang direktur eksekutif, pandai dan konsisten menghubungkan orang-orang dari pelbagai kalangan, meng-organize orang-orang dan kegiatan-kegiatan diskursus ilmiah serta event-event sosial kemanusiaan. Ia tidak hanya pandai berfilsafat. Ia pun seorang pribadi yang pandai membangun sinergi dan memperluas jaringan, mengkader generasi muda yang berpikiran terbuka, plural, inklusif dan progresif, yang peduli kepada yang membutuhkan, teristimewa untuk mengadvokasi orang-orang tertindas dan alam yang terluka.
Jaringan Mahasiswa-Mahasiswi Lintas Iman (Jari Lima) adalah nama jaringan kader yang dipupuk dan dirawatnya bersama LSAF melalui pelbagai training, workshop, dan exposures yang makin meluas ke daerah-daerah. Ia pun sangat aktif membangun kelompok-kelompok diskusi. Hal yang sudah ia geluti sejak masa-masa kuliahnya. Forum diskusi ataupun obrolan adalah bagai habitatnya. Demikian pun penelitian ilmiah dan kegiatan akademis, serta kegiatan kemanusian dan kaderisasi generasi muda serta perjumpaan lintas agama dan pembelaan HAM.
Pencampuran ini adalah zona hidup yang ia gumuli dengan sepenuh hati. Di sana ia dengan ringan menggarami. Kadang seolah ia tidak kelihatan. Sampai-sampai saya sulit menemukan foto dokumentasi kami berdua di tengah hiruk pikuknya kegiatan. Namun ia selalu berdampak. Karena ia tidak hanya pandai berbicara dan memonopoli the spot light. Ia tahu kapan berhenti berbicara dan mendengar dan kapan menghidupkan lagi percakapan yang berkelanjutan. Ia teman diskusi yang luar biasa. Pendengar sangat baik. Ia selalu memberi kesempatan kepada partner(s) bicaranya untuk merasa ‘at home’, merasa asyik berbagi dan bersuara. Ia mendengar tanpa menghakimi. Mengarahkan pada pemikiran yang lebih dalam lagi. Dan membuka jalan bagi penggalian yang lebih jauh untuk berjumpa, dan berdiskusi atau ngobrol lagi. Suasana ngobrol dan berdiskusi baik formal maupun informal dengannya selalu menagih. Kesediaannya mendengar dan mempertajam pemikirian sangat menawan.
Tahun 2015, saya menjadi Student Organization Adviser(SOA) untuk semua organisasi kemahasiswaan kerohanian di BINUS University. Ia selaku Direktur Eksekutif LSAF, hendak mengadakan camping+workshop lintas iman yang biasanya diselenggarakan LSAF kepada para mahasiswa terpilih dan potensial. Ia mengundang Romo Franz Magnis Suseno dan beberapa pembicara besar lainnya. Ia menyodorkan kesempatan kepada saya juga untuk menjadi salah satu pembicaranya. Begitulah cara ia memberi kesempatan kepada rekan-rekannya yang saya anggap sebagai ekspresi visinya akan perlunya pelibatan sebanyak mungkin orang pada jaringan pemberdayaan yang ia kelola dan misinya akan pentingya melakukan regenerasi dan kaderisasi yang meluas dan berkesinambungan.
Tidak hanya mengajak dan memberikan kesempatan kepada saya menjadi pembicara, ia juga memberi kesempatan istimewa dan mengundang secara khusus para ketua dan pengurus organisasi kemahasiswaan kami di BINUS untuk berpartisipasi dalam camping+workshop generasi muda lintas iman itu. Alhasil, beberapa anak binaan kami yakni Tan William Ketua Keluarga Mahasiswa Buddhis Dhammavaddhana (KMBD) BINUS, Gde Karmeita Kusuma Atmaja Ketua Keluarga Mahasiswa Hindu (KMH) BINUS, I Gde Made Muditayasa Koordinator Kerohanian Keluarga Mahasiswa Hindu (KMH) BINUS, dan Aldy Destian Satya Ketua Keluarga Besar Mahasiswa Kong Hu Cu (KBMK) BINUS berkesempatan untuk mengikuti rangkaian beberapa hari kegiatan tersebut yang meninggalkan kesan tak terlupakan bagi hidup mereka hingga kini.
Suka cita saya makin lengkap ketika suatu hari kalau tidak salah di tahun 2017 dia mengutarakan itikad untuk menjadi dosen. Saya menyarankannya bergabung di BINUS University, lembaga pendidikan yang punya reputasi baik dan menjanjikan, yang terus berekspansi dan terus maju, di mana ruang pendidikan nilai dan pengembangan karakter serta diskursus lintas iman begitu terbuka lebar dan dikelola secara serius karena saya yakin ia akan sanggup menggarami generasi muda yang lebih banyak dan lintas agama.
Ia akhirnya bergabung bersama kami di Character Building Development Center (CBDC) dan makin mewarnai kegiatan belajar mengajar kami di BINUS University. Ia diterima oleh Bpk. Antonius Atosokhi Gea yang kala itu hendak mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai CBDC Manager digantikan oleh Bpk. Frederikus Fios. Pemahamannya yang dalam dan kaya tentang wacana-wacana Pancasila dan jaringannya yang luas terkait arah pengembangan Character Building Pancasila mendorong Bpk. Frederikus Fios (CBDC Manager) untuk langsung menempatkannya sebagai Subject Content Specialist mata kuliah CB: Pancasila di mana kiprahnya telah menyumbang bagi pengayaan bahan kuliah dan pengembangan program CBDC.
Bpk. Antonius Atosokhi Gea menyatakan apresiasinya kepada Kang Iqbal, “…Beliau sebenarnya diharapkan akan semakin berperan penting di CBDC ke depan. Beliau masih muda dan sangat energik, wawasan luas, terbuka, dan kritis serta progresif dan selalu siap membantu dengan kemampuan dan keterampilan yang sungguh bisa diandalkan.”
Belakangan ini, bersama Mas Budhy Munawar Rahman, dia berhasil membuat hidup diskusi rutin LSAF secara online, mengkaji pemikiran-pemikiran dan isu-isu kontemporer tentang agama dan filsafat secara lintas iman, lintas agama, lintas generasi, lintas kelompok dan pendirian. Di samping itu, di sela-sela kuliah Progrgam Doktoral-nya di STF Driyarkara, ia pun merintis dan mengembangkan forum diskusi filsafat politik mingguan lainnya bernama Forum Diskusi Genial dan menjadi pemantik utama dan rutin diskusi filsafat setiap minggu itu. Saya sempat mengikutinya secara rutin dan merasa seolah-olah sumur pemahaman filsafat tidak pernah mengering mencakup para pemikir filsafat barat dan timur, dari klasik hingga kontemporer.
Minggu lalu, Kamis Malam, Malam Jumat seperti biasa, ia masih menjadi narasumber dan pemantik diskusi itu. Forum tersebut adalah forum diskusi ke-50 dari Forum Diskusi Genial. Angka yang setengah untuk mencapai 100. Ia membahas pemikiran Hannah Arendt. Suaranya jelas dan jernih sebagaimana pemikirannya. Tak ada yang berpikir bahwa ia akan pergi begitu cepat. Ketika ia dirawat di rumah sakit, setiap hari saya memantau kondisinya melalui istrinya terkasih, Ibu Rizqi Handayani. Kemarin, saya masih mendapat update yang membuat saya makin optimis bahwa Kang Iqbal sudah mulai merespon walau belum bisa berbicara karena masih dipasang ventilator. Tak disangka dini harinya mendapatkan berita duka tentang kepergiannya. Ingatan saya tentangnya masih segar dan masih muda. Seolah-olah ada gema di balik peyampaiannya, “Saya telah menjalankannya separuh jalan dan kini giliran Anda. Ayo, selamat melanjutkan!”
Kami telah banyak bercerita bahkan kadang sambil ngakak terbahak-bahak tentang banyak hal dan permenungan. Kami sama-sama share dan mengamini banyak insights dan keyakinan lintas iman. Salah satunya tentang Roh Ilahi Semesta: Roh yang Agung, dari mana kita berbagi jiwa dalam diri masing-masing individu; dalam kepelbagaian ini kita semua terkait kelindan dalam jalinan silahturahmi Roh Maha Luas yang menghubungkan semua entitas di alam semesta ini yakni keterhubungan kita satu sama lain (interconnectedness) dalam bentangan Rahim Ilahi, pemberi dan pemilik kehidupan dan kematian, kita semua berhubungan dan di sanalah dalam Rahman itu kita bersatu dalam keabadian. Kematian tidak mengakhiri kehidupan. Ia hanya mentransformasikannya menjadi Cahaya, menjadi Roh atau apapun Ia disebut, agar bisa kembali ke Asal dan Tujuan-nya itu. Tubuh akan terurai menjadi tanah agar kembali menyatu bersama semua yang lain telah berpulang, dan semua yang akan berpulang, bersama semua kita pada saatnya nanti. Demikian pun jiwa kita ini, setiap kita menyatu bersama Roh Ilahi yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Selamat berpulang mendahului kami, my dear brother. Biarlah jiwa muliamu terangkai erat dengan Jiwa Mulia yang kita obrolin dengan wajah ceria itu.
Pada podium-podium yang engkau persilakan kepada saya untuk menjelaskan tentang welas asih, saya biasanya mengakhirinya dengan mengaitkannya kepada pengertian etimologis Bahasa Ibrani dan Arab serta pengertian eskatologi teologis Semitik akan kata yang sangat sentral dalam teologi dan iman Islam dan lintas agama: yakni gelar almarhum, almarhumah yang akan kita sandang bersama-sama yaitu sebagai dia yang telah mendapatkan belas kasih Ilahi yang paripurna; sebagai dia yang telah kembali ke Rahim Ilahi.
Blessed are you yang telah merengkuh kepenuhan welas kasih Ilahi itu, Kawan.
Beristirahatlah di sana, Kawan!
Di Tempat segala jiwa beriman hendak kembali.
Di tempat yang disebut oleh para sufi sebagai taman indah tempat setiap pencinta (lover)hendak berjumpa dengan Kekasih-nya (Beloved).
Di Tempat segala tubuh yang rapuh dan lelah ini ingin beristirahat
Di Tempat yang ingin me-Rahimi-mu kembali.
Till we meet again!