Cinta Karena Tuhan

Oleh: Murty Magda Pane

Melanjutkan tulisan bulan lalu, bisa kita katakan bahwa jika pekerjaan dan kehidupan ini dilandasi dan menghadirkan Tuhan maka cinta itu akan menghadirkan kekuatan dan pengharapan. Dan itulah yang tidak dimiliki seorang koruptor. Yang ada hanya putus asa dan kehampaan. Oleh karenanya saya lebih sepakat untuk sebuah cinta tidak bersyarat. Yaitu ini adalah sebuah proses sedang hasilnya Tuhan yang menentukan. Kita hanya menjalankan sebuah proses saat bergaul dengan manusia, karena cinta Tuhan yang kita harapkan adalah cinta tertinggi. Jika Tuhan mencintai kita, manusia pun akan mencintai kita. 

Paradigma seperti ini tidak pernah disinggung Stephen R. Covey. Secara teori, apa yang dipaparkan oleh Covey memang logis dan sangat “WAH”. Namun tidak sedikit juga yang bingung karena ternyata hidup ini tidak seperti matematika 4×4=16. Matematika kehidupan 4×4, jawabannya bisa 16, bisa 32, atau bisa jadi NOL!

Sekali lagi, tanpa bantuan Tuhan, semua usaha yang kita curahkan hanya akan sia-sia untuk membuka pikiran hati manusia. Hanya dengan bantuan Tuhan, maka hati manusia akan bisa disentuh, dibuka dan digerakkan.

(https://www.kompasiana.com/takutpada-allah-/550e1ce6a33311ab2dba7f93/cinta-tidak-bersyarat?page=all)

Paradigma seperti di atas, hanya mudah dilakukan dengan kecerdasan spiritual yang tinggi. Menginjak bulan April 2021, yang di pertengahannya dimulai bulan Ramadhan, saat umat Muslim diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa, saya akan membahas hal ini, mengingat sekitar 87% warga negara Indonesia adalah umat Muslim. Ibadah puasa merupakan salah satu perintah Tuhan yang bertujuan menjaga kesehatan jasmani dengan bentuk pembatasan makan dan minum. Sebenarnya larangan makan dan minum selama beberapa jam tiap hari selama sebulan ini merupakan bagian dari perintah untuk menahan hawa nafsu dan mau berbagi kepada sesama. Karena itu tidak mengherankan jika di bulan Ramadhan banyak aktifitas berbagi kepada sesama, bahkan melaksanakan ibadah menunaikan zakat fitrah, sebelum Hari Raya Idul Fitri. 

Perintah-perintah ini sebenarnya bisa mendidik umat Muslim untuk tidak serakah dan dengan ringan hati berbagi kepada sesamanya. Selain itu, pelaksanaan ibadah lain yang biasanya lebih getol dilakukan oleh umat Muslim di bulan Ramadhan ini, maka, sebenarnya, umat Muslim memiliki kemampuan untuk menghilangkan sifat keserakahannya dan menggantinya dengan ringan membantu dalam keadaan hati yang senantiasa lapang dan damai. Aspek-aspek inilah yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa kecerdasan spiritual seseorang itu sudah meningkat.  

Pertanyaannya adalah: “Apakah kecerdasan spiritual yang sudah meningkat ini bisa dipertahankan hingga Ramadhan berakhir hingga bulan-bulan selanjutnya?” 

Jawabannya adalah ‘bisa’. Asalkan individu yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, melakukannya karena Tuhan. Awal pelaksanaan ibadah ini bisa saja karena takut melawan/melanggar perintah Tuhan, tetapi jika agama dan aspek spiritualitasnya dipelajari dengan baik, maka individu bisa melaksanakan ibadah karena cintanya kepada Tuhan. Cintanya kepada Tuhan bisa membuatnya damai karena merasa bagaikan ‘pulang ke rumah’.

Pembahasan tentang hal ini akan dilanjutkan pada tulisan di bulan berikut.     

Murty Magda Pane (Dosen Character Building, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)