Cinta Tak Bersyarat

Oleh: Murty Magda Pane

Seringkali kita temui dan hadapi sendiri fakta-fakta kehidupan yang terkadang menyakitkan, entah bagaimana harus menghadapinya. Seluruh hati kita, waktu atau cinta sudah kita curahkan pada seseorang dan ternyata orang tersebut tidak menerima cinta kita. Atau dalam sebuah organisasi atau kerja sama, kita sudah melakukan kerja sama dengan baik ternyata kita dikhianati. Tentunya ini sangat menyakitkan hati. Tak mengherankan jika kemudain kita bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang salah?”

Masih mengacu pada teori dari Stephen R. Covey, dalam bukunya “7 Habits Of Highly Effective People”, Covey menawarkan 3 prinsip kemenangan publik. Ketiga prinsip tersebut adalah Berpikir menang-menang, Berusaha Mengerti Terlebih Dahulu, baru dimengerti dan Wujudkan sinergi. Inti dari pemaparan Covey dalam buku tersebut adalah beliau ingin memberi pemahaman, ibarat bercermin, apa yang kita lakukan, maka bayangan pun akan mengikuti kita. Termasuk juga pengibaratan menebar benih: ‘apa yang kita tanam, itu yang kita tuai’ dan ini benar sekali. Sangat sesuai dengan prinsip kekekalan energi yang menyatakan bahwa energi yang dihasilkan tidak pernah hilang, tetapi bisa berubah/diubah bentuknya.

Tapi banyak orang mengatakan bahwa kenyataan tak seindah teori Covey. Kita menabur benih, bukan panen yang didapat terkadang ada hama, angin, banyak gangguan menerpa. Banyak kenyataan menyakitkan di hadapan kita yang tidak sesuai teori Covey itu. Misalnya ada cerita, bagaimana seorang istri/suami setia harus ditinggal pasangannya yang selingkuh. Apa salah dia? Atau seorang pegawai setia yang tiba-tiba harus di-PHK oleh perusahaannya?

Mengulik hal ini, Covey memang tidak memasukkan faktor Tuhan dalam pembahasannya. Banyak tertulis dalam kitab-kitab suci mengenai hal ini. Terutama tentang baiknya ‘memberi’ daripada ‘menerima’. Padahal kebanyakan dari kita mengharapkan orang yang kita beri akan memberi balasan serupa. Di saat kita senyum kepada seseorang, kita berharap orang itu tersenyum. Juga bila kita mencintai seseorang, kita membayangkan orang itu akan mencintai kita. Ternyata sikap ini keliru. Yang baik adalah ketika kita memberi karena memang ingin memberi, terlepas orang itu ingin memberi kita atau tidak. Senyum kita adalah senyum ketulusan, terserah orang lain akan tersenyum atau tidak; terlepas orang itu akan mencintai atau tidak, inilah yang disebut Stephen R. Covey dengan “CINTA TIDAK BERSYARAT”.

Sebenarnya saya sepakat juga dengan Covey untuk hal ini. Tapi, sekali lagi, saya rasa ia lupa ada hal “Yang Lebih Agung” yang menggerakkan cinta itu, yaitu “Memenuhi perintah Tuhan”. Cinta tak bersyarat sangat berbeda dengan Cinta karena Tuhan. Cinta tak bersyarat jika dalam kurun waktu tertentu tidak terbalas akan bisa berubah jadi kebencian, minimal bosan terluka dan serasa dunia tidak adil. Tapi cinta karena Tuhan akan menumbuhkan sebuah harapan besar bahwa pengorbanan batin selama di dunia tidak pernah disia-siakan karena akhirat akan selalu ditegakkan. Inilah juga yang terjadi pada seorang koruptor. Mungkin seorang pejabat yang bekerja mati-matian merasa ia tidak akan mendapat balasan setimpal yang bisa membuat ia kaya. Ia melupakan Tuhan dan pengadilan akhir kelak. Ia sia-siakan cinta Tuhan kepadanya (https://www.kompasiana.com/takutpada-allah-/550e1ce6a33311ab2dba7f93/cinta-tidak-bersyarat?page=all). Untuk lebih jelasnya, silakan diikuti pada tulisan di bulan berikut.

Murty Magda Pane (Dosen Character Building, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)