7 Kali Menangkap 7 Kali melepaskan ( Zhuge Liang dan Bakpao )
Oleh: Kristan, SE, M.Ag
Cerita ini adalah bagian kecil dari roman terbaik sepanjang masa, San Kuo Yen I ( Sam Kok ).
Zhuge Liang (181 – 234) seorang penganut Khonghucu yang brilian adalah salah satu ahli strategis terbaik Tiongkok, juga sebagai perdana menteri, insinyur, ilmuwan, dan penemu legendaris bakpao.
Di zaman tiga negara (sam kok) pernah terjadi pemberontakan besar-besaran di daerah selatan Tiongkok, perdana mentri Tiongkok saat itu, Zhuge Liang meminta izin kepada kaisarnya, Liu Bei untuk menumpas pemberontakan di selatan itu, terkenal dengan sebutan ‘The Southern Campaign’ Suku selatan itu disebut juga ‘Nanman’ atau ‘orang barbar dari selatan’ ( sekarang Burma / Myanmar ). Raja di daerah selatan yang memberontak itu bernama Meng Huo.
Tak lama setelah Liang sampai di daerah selatan itu, Liang sudah mengalahkan Meng Huo 7 kali dan membebaskannya sampai 7 kali juga, dimana saat pembebasan ketujuhnya Meng Huo akhirnya menyerah dan berjanji tidak akan memberontak lagi kepada Shu Guo (saat itu belum ada sebutan Zhong Guo karena Tiongkok masih terpecah menjadi tiga negara: Shu, Wu, Wei). Sewaktu membebaskan Meng Huo, Zhuge Liang selalu ditentang oleh jendral-jendralnya: “Kenapa dia dibebaskan? Bagaimana jika dia memberontak lagi?”, Liang dengan tenang menjawab: “Aku dengan mudah dapat menangkapnya kembali semudah mengeluarkan tangan dari saku. Kini aku sedang mengalahkan hatinya.
Zhuge Liang tahu kalau Meng Huo ditangkap lalu dibunuh, akan ada pengganti Meng Huo lainnya yang akan memimpin pemberontakan ke Shu, karena itu dia pikir lebih baik membuat pemimpin daerah selatan yang berpengaruh ini berpihak kepadanya supaya Meng Huo bisa memimpin daerah selatan untuk setia kepada Shu. Pada peperangan yang terakhir, yang ketujuh kalinya; Zhuge Liang membuat Meng Huo masuk ke lembah yang dikelilingi pegunungan Dilembah itu Liang menaruh kereta pengangkut makanan. Ketika melihat kereta itu, Meng Huo langsung tertarik dan memimpin pasukannya masuk ke lembah itu.
Setelah pasukan Meng Huo mendekati kereta pengangkut makanan itu, ternyata kereta itu tidak berisi makanan melainkan bubuk mesiu! Langsung saja pasukan Shu yang sudah menunggu di kaki gunung memanah kereta-kereta yang penuh bubuk mesiu itu dengan panah api. Terjadi ledakan besar-besaran di lembah itu, dan dalam sekejap lembah itu menjadi lautan api yang menewaskan hampir semua pasukan Meng Huo.
Kemenangan ini tidak membuat Liang senang, ia hanya agak menyesali: “Jasaku sangat besar kepada negara, namun dosaku juga sangat besar kepada Thian; semoga Thian berkenan mengampuniku karena aku hanya menjalankan kewajiban menjaga keamanan negara.”
Setelah kejadian ini, Meng Huo kembali ditangkap pasukan Liang.
Ketika Liang menemui Meng Huo, ia langsung melepaskan ikatan tali Meng Huo dan berkata: “Silahkan anda pergi lagi dan mempersiapkan pasukan baru anda untuk bertarung kembali”, mendengar itu Meng Huo terharu dan berkata: “Tujuh kali tertangkap, tujuh kali juga dibebaskan! Kejadian seperti ini seharusnya tidak pernah dan tidak akan terjadi!! Meskipun aku tidak punya adat istiadat, aku masih punya upacara keagamaan yang masih menjunjung etika. Tidak, aku tidak sehina itu!
Setelah kejadian ini, suku selatan tidak pernah memberontak lagi kepada Shu. Ketika dalam perjalanan akan kembali ke Cheng Du (ibu kota Shu), Zhuge Liang harus melewati sungai besar. Di sungai itu Liang tertahan karena selalu saja ada gelombang besar dan badai ketika pasukan Shu akan menyeberang. Zhuge Liang kemudian meminta pendapat Meng Huo yang ikut mengantar Liang dan Meng Huo berkata: “Sejak zaman nenek moyang kami, orang yang ingin melewati sungai itu harus melemparkan 50 kepala manusia untuk persembahan kepada roh sungai.”
Karena Liang tidak mau membuat pertumpahan darah lagi, ia membuat kue yang menyerupai kepala manusia: bulat namun rata didasarnya, dan kue ini tidak lain adalah bakpao (baozi).
Huruf mandarin (mántóu) sebenarnya berasal dari kata (kepala orang barbar); nb: Mantou adalah sejenis bakpao namun tidak ada isi dagingnya.
Ketika sebelum pecah perang antara Jepang dan Tiongkok tahun 1937, semua akses ke lautan negara Tiongkok telah di blokade oleh Jepang, untuk mengatasi hal tersebut maka Tiongkok mambuat jalan akses baru didaerah Burma / Myanmar sekarang. Pekerjaan ini dipimpin oleh seorang Insinyur yg bernama Tan Pai Ing.
Ternyata pengaruh Zhuge Liang di Burma masih sangat terasa di daerah Burma, kenyataannya ketika Tan Pai Ing memulai pekerjaannya Ia mendapatkan banyak bantuan dari orang orang Burma. Didalam rumah orang Burma diwilayah jamanya Meng Huo itu banyak terdapat pemujaan dan altar bagi patung-patung Kong Ming Zhuge Liang
Sehingga ketika misionaris Katolik datang ke Burma untuk menyebarkan agamanya mula-mula mereka menghadapi penolakan yg sangat berarti, sehingga akhirnya mereka memiliki ide dengan mengatakan bahwa ” Jesus Kristus adalah merupakan saudara muda dari Zhuge Liang ” Barulah setelah meyakini hal itu orang-orang Burma lambat laun akhirnya mau menjadi penganut Katolik, dengan catatan mereka tetap menyandingkan patung Maria dengan Patung Kong Ming pada altar yang sama ( Tan Pai Ing, The Building of The Burma Road terbitan New York 1945 )