Etnis Tionghua dan Sumpah Pemuda
Oleh: Kristan, SE, M.Ag
Awalnya istilah Indonesia merupakan definisi ilmiah bagi kepulauan Hindia yang dikenalkan oleh para antropolog Barat, seperti JR Logan, GSW Earl, dan Adolf Bastian, di penghujung abad ke-19. Endapan diskursus tersebut telah bertransformasi menjadi suatu bangsa, tepatnya setelah ji-wa-jiwa mudanya mengucap dik-tum Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Berlaksa bangsa yang sebelumnya terberai ideologi primordialisme (kedaerahan, kesukuan, keagamaan) bisa bersatu.
Masyarakat madani kita yang mulanya didominasi kental oleh gairah primordial, seperti Jong Java, Jong Sumatranen, Jong Celebes, Jong Ambon, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Jong Tionghoa (sejarah mencoba menutupinya) tampak mengorientasi kiblat.Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis (Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung ideologis bernama keindonesiaan.Walhasil, 17 tahun kemudian, proklamasi kemerdekaan dideklarasikan, dan lahirlah Pancasila dan UUD 1945. Terpenuhi sudah syarat ontologis yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi sebuah Negara bangsa (nation-state) dalam lembaran sejarah peradaban dunia.
Masyarakat Terbuka
Dalam suatu kesempatan di sela-sela dialog tentang primordialisme, Mohammad Sobari pernah berujar: “Anggaplah nenek moyang kita yang terdahulu telah melakukan kesalahan yang tidak disengaja, dengan menyatakan ada bangsa yang lebih unggul dari yang lain, dan berbagai text books yang menjurus pada primodialisme dan mungkin fundamentalisme.”Lebih lanjut Sobari mengatakan, bagaimana jika kita buang jauh-jauh pemikiran itu dan kita gunakan saja hasil konsensus para pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, yang kita kenal sekarang sebagai Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia. Dengan semangat berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhineka Tunggal Ika) mungkin dapat mewujudkan masyarakat yang lebih damai dan terbuka (open society), yang menurut Karl Kopper, dapat meredam radikalisme dan fundamentalisme.
Sejak dahulu dalam UUD 1945 (walaupun sudah empat kali diamandemen) dikenal terminologi Indonesia asli dan dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan RI 2006 terdapat istilah “asli” yang berbunyi: “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undangsebagai warga negara.” Sejatinya kata asli memiliki dua dimensi arti yaitu asal usul (originality) atau sejati (genuine), yang artinya sejati atau tulen. Artian asal usul sebenarnya tidaklah mempunyai dasar ilmiah yang kukuh seperti yang telah lama diuraikan bahwa sebenarnya bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara ini pada dasarnya adalah bangsa campuran.
Dalam kehidupan politik yang modern pengertian nation (bangsa) tidak dikaitkan dengan faktor etnisitas, melainkan dengan rasa solidaritas dengan sesama warga negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan bernegara. Keaslian tidaklah terkait pada faktor fisik melainkan pada semangat patriotisme. Jadi Indonesia yang asli haruslah bermakna Indonesia yang sejati, yang memiliki semangat cinta Tanah Air dan seluruh bangsa, serta memandang semua komponen bangsa sebagai sesama.
Sebagai contoh jika keaslian dikaitkan dengan faktor biologis, maka etnik Jawa yang tinggal di Suriname atau orang Ambon eks KNIL, ketika mereka kembali ke Indonesia dan menjadi WNI maka mereka berhak menjadi presiden. Jadi seolah-olah lebih berhak dibandingkan dengan etnik Tionghoa, Arab, India, atau Indo yang telah turun temurun hidup di sini dan telah berjasa banyak bagi kesejahteraan bangsa. Apakah ini tidak bertentangan dengan rasa keadilan yang berketuhanan? Oknum Tionghoa yang mengacaukan ekonomi dan menyebabkan kehancuran bank, tidak membayar pajak dengan adil, menyelundupkan kekayaan negara, tidaklah dapat dikategorikan Indonesia yang sejati. Bahkan tidak dapat dikategorikan ke dalam kelompok Indonesia sama sekali. Walaupun memakai nama Indonesia dan berbahasa Indonesia dengan fasih serta mengenal sejarah perjuangan dengan baik. Tidak dapat disangkal bahwa banyak oknum Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal dalam bidang ekonomi dan perdagangan dan tentunya tindakan criminal lainnya yang cukup menyakitkan bangsa Indonesia secara keseluruhan, baik etnik Tionghoa maupun Melayu.
Namun di sisi lain kontribusi etnis Tionghoa khususnya dalam perekonomian Indonesia sangatlah signifikan, hal ini dapat dikaji dari sejak awal kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara. Intorduksi teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian seperti pembuatan gula tebu, tanaman jati, pendulangan emas dan timah, teknik pengolahan kedelai menjadi tahu, kecap, tauco misalnya merupakan teknik-teknik yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Nusantara.
Atas sumbangsih tersebut mungkin anak cucu mereka kini berhak menikmati buah karya leluhurnya tersebut. Dalam kehidupan modern, etnik Tionghoa menyumbangkan tenaganya dalam bidang perdagangan dan telah menyediakan jutaan lapangan pekerjaan bagi semua pihak. Tidak sedikit yang banyak berkarya dalam bidang olahraga, ilmu pengetahuan, kedokteran, hukum, perhubungan, keteknikan, pendidikan, dan hampir semua bidang profesi lainnya. Bahkan ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Perlu dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dibacakan, tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (sekarang rumah tersebut dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Hingga detik ini sumbangan etnik Tionghoa dalam berbagai sektor cukup besar.
Tindakan Diskriminatif
Fenomena penjarahan toko-toko milik etnik Tionghoa adalah buah dari tidak konsistennya produk hukum dari penguasa dalam kaitannya dengan etnis Tionghoa, serta masih banyaknya tindakan diskriminatif lainnya.
Contoh paling konkret adalah diskriminasi di bidang birokrasi seperti masalah SBKRI yang kadang dipelesetkan menjadi “Surat Bukti Kebodohan Republik Ini” dari arti yang sebenarnya yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, kasus pencatatan akta kelahiran, dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan salah satu petunjuk masih kuatnya budaya kesukuan (primordialisme) pada sebagian kalangan di Indonesia. Kelompok rasialis ini bukan saja telah merusak etnis tertentu, melainkan juga telah merusak ekonomi negara secara keseluruhan.
Dengan adanya UU Kewarganegaraan yang baru-baru ini disahkan mudah-mudahan hal-hal tersebut tidak terjadi lagi di masa mendatang. Dan juga jangan sampai aturan yang telah disepakati bersama tersebut dinodai oleh praktek-praktek oknum rasialis yang mungkin masih tetap ada di bumi Indonesia tercinta ini. Namun di balik itu semua komunitas Tionghoa Indonesia juga jangan terlalu terbuai dengan tuntutan hak-haknya semata melainkan juga harus mengimbanginya dengan kewajibannya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan konstitusi.Maka dari itu komunitas Tionghoa juga harus belajar membuka diri menuju open society.
Etnis Tionghoa hendaknya memang tidak usah ragu-ragu dalam membina negara dan bangsa Indonesia karena memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negeri ini. Kontribusi etnis Tionghoa dalam membangun negara dan bangsa Indonesia tidaklah sedikit. Mulai sekarang etnis Tionghoa Indonesia haruslah merasa benar-benar at home di negara ini. Setiap individu Tionghoa harus aktif menangkis tuduhan-tuduhan yang tidak adil sesuai tugas dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia yang baik.
Keadaan demografi dan landsekap politik sekarang ini sangatlah berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homogenitas di atas keberagamaan tidaklah mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi juga multinasional. Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi kebudayaan dunia. Indonesia akan menghadapi kenyataan semakin berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, China, Jepang, Korea, India, dan sebagainya.
Keanekaan tidak hanya antar suku bangsa yang telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain. Jadi konsep kebangsaan zaman kini mungkin haruslah menjadi suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia. Selaras dengan apa yang dikatakan Confucius bahwa Semua Manusia adalah Bersaudara (All Men are Brothers and Sisters).