Belajar Nilai Pengorbanan Dari Nabi Ibrahim

Salah satu nabi yang secara eksplisit disebutkan di dalam Al-Qur’an sebagai nabi yang layak untuk diteladani setelah Nabi Muhammad adalah Nabi Ibrahim (QS 60:4). Allah SWT banyak menceritakan tentang kehidupan beliau agar generasi setelahnya dapat mengambil pelajaran darinya dan menjadikannya sebagai contoh untuk diikuti dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak keteladanan yang bisa dicontoh dari kepribadian Beliau. Saah satunya keteladanan dalam berkorban.

Berkorban berarti menyatakan kebaktian, kesetiaan atau memberikan sesuatu sebagai korban. Di dalam bahasa Arab, korban atau kurban berasal dari kata qoroba yang berarti dekat, sehingga kata korban atau kurban lebih kurang maknanya adalah menyerahkan atau memberikan sesuatu agar dapat mendekatkan diri kepada dzat yang dicintai. Dari sini jelas bahwa dasar bagi sebuah pengorbanan adalah cinta. Dengan kata lain, jika cinta belum tumbuh maka pengorbanan akan sulit untuk terwujud.

Cinta seorang Ibrahim kepada Allah SWT begitu besar sehingga mampu mengalahkan ego pribadi dan hawa napsu dalam dirinya. Apapun yang diminta pasti akan diberi, apapun yang dituntut pasti akan dituruti, dan apapun yang diperintah pasti akan dilaksanakan. Demikianlah ketika Allah SWT memerintahkan kepadanya untuk mengorbankan putra kesayangannya sebagai kurban (QS 37 : 102) maka hal itu bukanlah perkara yang sulit baginya, meskipun secara fitrah siapa pun pasti berat kalau harus mengorbankan putranya untuk dijadikan kurban. Namun, karena keimanan dan ketakwaannya serta rasa cintanya pada sang Pemberi cinta maka beliau siap mengorbankan putra kesayangannya untuk melaksanakan perintah Tuhannya. Meskipun realitanya perintah itu hanya sebuah ujian sejauh mana keimanan dan ketakwaan yang terpatri dalam dirinya serta seberapa besar rasa cintanya kepada Tuhannya (QS 37 : 106-107). Rupanya masa penantian beliau yang panjang akan hadirnya si buah hati dan rasa cinta dan sayangnya kepada putra tercinta tidak mengalahkan kepatuhan dan kecintaannya kepada Tuhannya.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan orang kebanyakan, termasuk kita di dalamnya. Sebuah pertanyaan yang layak kita renungkan adalah : “sudah seberapa besar pengorbanan kita untuk komitmen pada ajaran agama yang kita peluk ini? Mungkin jawaban nya belum seberapa karena nyatanya jangankan diminta berkorban jiwa, keluarga, dan harta bahkan untuk berkorban waktu, tenaga, fikiran untuk melaksanakan aturan-aturan agama yang kita peluk kadang kita belum maksimal bahkan belum siap. Hal ini terjadi bisa jadi karena ego dan hawa napsu masih mempengaruhi hidup kita. Keimanan dan ketakwaan kita belum ada apa-apanya. Bahkan rasa cinta kepada Allah SWT masih terbatas atau malah belum tumbuh sama sekali. Disinilah kita mesti banyak belajar dari sosok Nabi Ibrahim dalam hal berkorban.

Sukron Ma'mun, S.Ag.M.A (Dosen Character, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)