KITAB PENGKHOTBAH KITAB KECERDASAN SPIRITUAL

by: Simon Mangatur Tampubolon

Pernah ada seorang yang menjalani kehidupan di bawah Matahari ini dengan bermodalkan segala apa yang dibutuhkan untuk menjalaninya sampai puas sepuasnya. Dia memiliki uang, waktu, tenaga dan kekuasaan  di bawah Matahari. Dia bukan hidup dalam khayalan atau mimpi, sungguh dia hidup dan memiliki segala-galanya yang dibutuhkan untuk menjalani hidup di bawah Matahari ini. Ia menjalani hidupnya dan tidak lupa membuat catatan-catatan sebagai sebuah narasi kehidupan. Narasi yang berisikan cara dia menilai, mengevaluasi dan memaknai hidup di bawah Matahari yang telah dia lalui. Dia adalah Salomo dan narasi kehidupan yang ­dibuatnya dan masih bisa kita baca sampai saat ini adalah kitab Pengkhotbah.

Kitab ini memberikan gambaran “Problema Kehidupan Bersama dengan Tuhan” yang bagaikan “Kehidupan Di Tepi Tebing Yang Rapuh” atau bagai “Hidup Di Bawah Bayang Bayang Maut” yang bisa jadi sepertinya “Berlimpah Namun Gersang”. Kalimat-kalimat dengan tanda kutip ini merupakan judul-judul dari beberapa buku tafsiran kitab Pengkhotbah. Kalimat-kalimat yang menggambarkan bagaimana Pengkhotbah mengajak pembacanya untuk melihat kehidupan ini dan memaknainya secara jujur.

Ada paradoks dalam kehidupan manusia, dimana dalam kehidupan bersama dengan Tuhan, masih juga ada problema, atau berlimpah, namun juga gersang, dan ini membawa manusia pada pilihan hidup yang bagaikan di tepi sebuah tebing yang rapuh atau hidup tetapi di bawah bayangan maut.

Pilihan-pilihan hidup dan paradoks-paradoks kehidupan di dunia yang sudah jatuh dalam dosa yang digambarkan Pengkhotbah sebagai kehidupan ‘di bawah Matahari’ membuat manusia membutuhkan kecerdasan spiritual agar dapat mengambil keputusan yang tidak sekedar berdampak pada kehidupan di bawah Matahari ini, tetapi juga sampai kepada kehidupan di atas Matahari.

Catatan itu mengajarkan bagaimana kehidupan di bawah Matahari ini harus dilihat untuk dapat dijalani dengan bijak sampai tiba waktunya beralih ke kehidupan di atas Matahari. Charles Swindoll diawal bukunya tentang kitab Pengkhotbah mengatakan:

Berbicara tentang buku Pengkhotbah, setiap halamannya merupakan jalinan dari segala yang terjadi di bumi ini. Suka ataupun tidak, sampai ke lubuk hati yang terdalam akan kita rasakan suatu ketidak-tenangan, suatu perasaan berat untuk memikul tanggung jawab yang dibebankan pada kita, serta perasaan tidak ada perhentian. [1]

Semua gejolak yang dituliskan dalam kitab Pengkhotbah merupakan gejolak manusia dari masa ke masa. Prespektif yang disajikan Pengkhotbah begitu menusuk tajam  membuat pembacanya tidak bisa tenang dalam zona nyamannya atau dalam ketidak peduliaannya, karena pesan-pesan pengkhotbah menguliti pikiran, perasaan dan motif-motif terdalam manusia dan akhirnya manusia dibawa, kalau tidak dipaksa, untuk memaknai kembali hidup dan kehidupannya.

            Eka Darmaputera menuliskan  kitab ini menakjubkan sekaligus sangat menantang dan mengganggu karena kita ini sangat berbeda dengan kitab-kitab lainnya yang kita kenal. Dalam kita ini kita tidak menemukan ketegasan pernyataan iman, bahkan sering yang kita baca adalah keraguan. [2]

            Pengkhotbah sepertinya sedang menantang kita untuk menyelidiki kembali iman kita yang indikator-indikatornya terlihat pada bagaimana kita menjalani hidup di bawah Matahari ini dan bagaimana kita menilai kehidupan itu. Catatan-catatan Kitab Pengkhotbah bisa menjadi  petunjuk atau instrument bagi kita untuk mengevaluasi dan memaknai hidup dan kehidupan kita.


[1] Charle R. Swindoll. Kehidupan di Tepi Tebing yang Rapuh (Surabaya: Yakin, tt), 14.

[2] Eka Damaputera, Merayakan Hidup (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 3.