Kabar Angin dari Langit.

by: Andy Gunardi

Di sini saya tidak mengacu pada bab-bab yang ada dalam buku “Kabar angin dari langit”, karena saya merasa alur pemikiran penulis sebenarnya sudah jelas dan mudah dipahami. Saya akan meringkas buku tersebut secara global saja dan bentuk ringkasan yang saya pakai berupa sebuah ulasan.

     Pieter Berger adalah sosiolog yang terkenal. Berkenaan dengan hal itu tidak heran bila dalam tulisannya ini ia mendasarkan pada ilmu sosiologi yang dikuasainya dengan baik. Berkaitan dengan hal itu ia dalam prakata mengatakan bahwa ia berusaha melepaskan budaya yang melingkupi hidupnya, yaitu pandangan Max Weber. Di sini ia berusaha netral. Selain itu Berger dengan rendah hati mengakui keterbatasannya dalam bidang teologi. Ia ingin agar pembaca ikut berpikir ketika membaca pandangan-pandangan yang ia kemukakan dalam buku ini.

     Pada awal tulisannya Berger mencoba menggambarkan bahwa arus sekular menyebar dalam masyarakat modern. Ia mengutip perkataan Thomas Altizer, seorang teolog radikal yang mengatakan, “Kita harus menyadari bahwa kematian Allah merupakan kejadian historis, bahwa Allah telah wafat di dunia, dalam sejarah dan keberadaan kita”. Selanjutnya ia mengkemukakan tesis-tesis yang ingin mengatakan bahwa budaya sekular seakan-akan menggoncang Gereja dan mempertanyakan kehadiran Allah di dunia. Allah seakan-akan hanya sebuah kabar angin saja, bukan sebagai suatu realitas yang dihayati dan diyakini keberadaannya. Berkenaan dengan arus sekularisme itu muncul pandangan relativisme yang mengatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada tempat di mana suatu budaya tumbuh. Selanjutnya perkembangan sosiologi seakan-akan membenarkan hal itu. Agama menjadi tersisih dan semakin mengecil. Di sinilah suatu kendala atau hambatan atau tantangan yang dihadapi oleh agama. Berkenaan dengan arus sekularisme yang meningkat Berger mengajukan suatu pemecahan. Pemecahan itu menggunakan pendekatan induktif. (Pendekatan induktif ialah pendekatan yang lebih mengacu pada realitas keadaan nyata dan berangkat dari sana dicari unsur-unsur transedensinya). Berangkat dari pemikiran itu Berger ingin mengatakan bahwa sosiologi dapat membantu.

     Untuk memperjelas pandangannya itu Berger mencoba memberi contoh bahwa dalam masyarakat modern termaktub unsur-unsur transedensi, yaitu pengalaman bahwa manusia selalu cenderung pada tertib, pengalaman permainan, pengalaman harapan, pengalaman situasi batas, pengalaman tindakan yang dikutuk secara universal dan pengalaman humor.

     Berger juga memprotes para teolog yang cenderung menempatkan pandangan pada masa lampau. Yang penting bukan menyatakan kabar Yesus pada zamannya, namun bagaimana Yesus itu tetap hidup dalam masyarakat sekarang dalam rupa kasih, cinta dan pengharapan. Di sana orang akan segera melihat suatu hal yang transedensi. Bila hal itu dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita akan mengubah pandangan Allah sebgai kabar angin menjadi sesuatu yang realitas ada di dunia dan tetap berkarya sampai sekarang.