Teori Kebebasan Amartya Sen
Oleh: Iqbal Hasanuddin
Amartya Kumar Sen adalah seorang ekonom dan filsuf politik yang lahir pada 1933 di Santiniketan, Bengal Barat, India. Sebagai ekonom, ia banyak menulis karya dalan bidang ekonomi kesejahteraan yang membawanya mendapatkan Penghargaan Nobel Ekonomi pada 1998. Sebagai filsuf politik, ia menafsirkan ulang konsep kebebasan dengan mengemukakan gagasan tentang kapabilitas.
Dalam filsafat politik kontemporer, pemikiran Sen merupakan upaya untuk memberikan dimensi baru pada teori kebebasan yang sebelumnya senantiasa dipahami sebagai “tidak adanya paksaan dari luar.” Itulah pengertian kebebasan sebagaimana dipahami oleh John Stuart Mill, F.A. Hayek dan Isaiah Berlin. Ketiga filsuf politik itu cenderung memahami kebebasan sebagai kebebasan negatif (bebas dari paksaan).
Bagi Sen, kebebasan negatif (bebas dari paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk mencapai yang apa yang dianggap bernilai) adalah dua dimensi kebebasan yang sama-sama penting. Baginya, kebebasan negatif adalah dimensi kebebasan yang terkait dengan proses, sementara kebebasan positif adalah kebebasan yang terkait dengan kesempatan nyata. Secara khusus, istilah kapabilitas atau kemampuan dipakai oleh Sen dengan mengacu kepada dimensi kebebasan positif tersebut.
Menurut Sen, kedua dimensi kebebasan ini sangat penting bagi manusia sebagai person moral yang layak untuk diperlakukan secara bermartabat. Setiap orang membutuhkan “kebebasan negatif” untuk memastikan tidak adanya koersi dari luar yang dapat membatasi upayanya untuk menjalani kehidupan yang bernilai. Setiap orang juga membutuhkan “kebebasan positif’, karena tidak adanya koersi atau paksaan saja tidak cukup. Kita semua membutuhkan daya atau kemampuan nyata untuk mencapai tujuan-tujuan yang kita capai di dalam hidup.
Sebagai ilustrasi, anggap saja ada sebuah masyarakat yang sudah menerapkan prinsip kebebasan negatif di mana tidak ada kekerasan atau paksaan yang melarang orang-orang untuk mencapai kehidupan yang bernilai. Di dalamnya, tidak ada larangan atau paksaan yang menyebabkan orang-orang tidak bisa memperoleh pendidikan dan kondisi kesehatan yang baik, pekerjaan yang layak, dll. Lantas, dengan tidak adanya larangan atau paksaan itu, orang-orang secara nyata bisa mendapatkan pendidikan, kondisi kesehatan yang baik dan pekerjaan yang layak? Jawaban Sen: Tidak.
Bagi Sen, untuk sampai pada keadaan yang layak berdasarkan martabatnya sebagai manusia, setiap orang juga membutuhkan kebebasan dalam pengertian daya, kemampuan nyata, atau kapabilitas. Dalam hal ini, kebebasan sebagai kapabilitas itu terdiri dari dua aspek: kebebasan kesejahteraan (wellbeing freedom) dan kebebasan pelaku (agency freedom).
Dengan memberikan dimensi kapabilitas pada teori kebebasan, Sen telah berhasil merumuskan ulang pengertian mengenai kemiskinan dan tolok ukur kualitas hidup. Misalnya, bagi Sen, kemiskinan itu bukan hanya tentang rendahnya pendapatan, tapi juga ketidakberdayaan secara umum. Orang yang memiliki banyak uang tapi mengidap sakit yang akut bisa disebut sebagai orang yang tidak sejahtera karena ia memiliki tingkat keberdayaan yang relatif rendah. Ia tidak memiliki kualitas hidup yang baik.
Seturut dengan itu, Sen mengusulkan tolok ukur kualitas hidup sebagai ukuran untuk melihat apakah pembangunan di sebuah negara berhasil atau tidak. Dengan demikian, ia menganggap ukuran pendapat domestik bruto (PDB) yang selama ini dipakai tidak terlalu memadai. Bagi Sen, pembangunan di sebuah negara masih dinilai belum berhasil jika hak-hak dan kebebasan sipil tidak terjamin, meskipun PDB-nya tinggi. Sebab, bagi Sen, pembangunan adalah pembebasan yang menyangkut bukan hanya kesejahteraan (wellbeing freedom), tapi juga kebebasan individu (agency freedom).
Pada gilirannya, Sen juga mengusulkan agar konsep kebebasan dimasukkan ke dalam teori pilihan sosial. Bagi Sen, teori pilihan sosial tradisional sekadar memperhitungkan aspek kesejahteraan, tapi kurang memberikan tempat pada kebebasan. Dalam rumusan teori pilihan sosial yang dikemukakannya, Sen berharap agar keputusan-keputusan sosial diambil dengan memberikan ruang bagi partisipasi yang bebas dari setiap anggota masyarakat tanpa terkecuali. Selain itu, keputusan-keputusan sosial juga tidak diperkenankan untuk melanggar kebebasan individu dengan alasan kesejahteraan sosial.