Metode Orang Percaya dalam Menciptakan Kerukunan Beragama di Indonesia

by: Daulat Tambunan

Dalam kehidupan ini begitu banyak kepercayaan-kepercayaan yang ada di dalam suatu kelompok atau suku, begitu juga pemahaman mereka tentang lingkungan di sekitarnya. Karena kepercayaan itu tidak hanya dilihat dari sisi hubungan manusia dengan Tuhan tetapi juga dilihat dari hubungan dengan lingkungan. Dalam kehidupan ini ada beberapa kepercayaan di antaranya animisme, dinamisme, atehiesme, fanteisme, humanisme dan lain-lain. Ada beberpa agama atau kepercayaan di dunia ini, tentu saja dalam pelaksanaannya pun pasti berbeda-beda juga. Agama-agama tersebut seperti Shinto, Taoisme, Kong Hu Chu, Hindu, Buddah, Yahudi, Katolik.

            Setiap ajaran agama-agama ini sedang mencari jalan yang benar dan untuk kehidupan yang lebih baik di suatu saat nanti ketika meninggalkan dunia ini. Sekuat tenaga mencari keselamatan dan kesejahteraan tersebut. Namun perjuangan mereka ini sangat disayangkan karena keliru di hadapan Tuhan. Maka dalam makalah ini penulis menguraikan mulai dari definisi Agama, sejarah Agama-Agama Besar Dunia dan pentinya Orang Percaya memahami setiap ajaran tersebut.

  1. Sejarah Agama-Agama Besar Dunia
  2. 1.             Definisi Agama

Pertentangan definisi agama berkisar seputar persoalan apa yang secara legitimate dapat atau tidak dimasukkan dalam batas istilah agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan sebagai prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dan lain sebagainya) serta dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.  J.G. Frazer berpendapat bahwa agama adalah penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung daripada manusia, yang di anggap mengatur dan menguasai jalanya alam semesta. Nada yang agak minor dikemukakan oleh Freud, yang mengangap agama adalah bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali (the projectiaon of  fear or wishful thinking).[1] Sedangkan menurut Durkheim bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat di ketahui dan tidak dapat di pikirkan oleh akal manusia sendiri. Tegasnya agama adalah suatu bagian dari ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dengan tenaga pikiran saja.[2]

Emile Durkheim, seorang sosiolog asal Prancis mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada agama yang salah.[3] Semua agama adalah benar menurut metode masing-masing. Agama menurut dia adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan suatu yang sacred, yakni segala sesuatu yang terasingkan dan terlarang, yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, di mana semua orang tunduk kepada-Nya. Durkheim mengkritik definisi-definisi agama lain yang mendefinisikan agama sebagai keyakinan pada supernatural atau keyakinan kepada Tuhan atau Zat yang spiritual.[4] Sigmund Freud, pendiri termasyhur dari Ilmu Psikoanalisis, juga beranggapan bahwa dunia agama itu adalah dunia khayalan.[5] Menurut pendapatnya, kebutuhan akan iman kepada Tuhan dan agama timbul dari perasaan ketidakmampuan manusia dalam hubungannya terhadap dunia di luarnya. Bagi seseorang seperti halnya manusia, pada umumnya kehidupan itu sungguh merupakan beban yang berat untuk dipikulnya.[6]

  • Sejarah Agama-agama Besar di Dunia

Sejarah agama-agama adalah sejarah umat manusia dengan aneka ragam tindakan manusia yang terjadi pada masa lalu dengan sandaran doktrin agama, karena doktrin agama yang mampu membentuk kepribadian umat manusia. Maka dalam kenyataannya beragam pengalaman ajaran agama bagi pemeluknya sangat ditentukan oleh pemahaman keagamaannya. Di samping bernilai normatif, sejarah agama-agama juga bernilai historik. Hal yang bersifat normatif dapat dipahami dengan kitab suci (manuskrip), sedangkan hal-hal yang bersifat historik merupakan pemahaman dan pengamalan ajaran agama sebagai pengamalan keagamaan umat manusia yang sifatnya beragam dan seragam. Kehadiran manusia dan terbentuknya masyarakat mendahului kedatangan agama-agama yang dibawa oleh para nabi di bumi. Di satu sisi agama datang untuk menghapus dan mengganti sebagian budaya atau tradisi yang tidak sesuai, di sisi lain agama juga menjadikan sebagian budaya dan tradisi masyarakat menjadi bagian ajaran agama.

  1. Agama Hindu[7]

Dari seluruh agama yang masih hidup mungkin agama Hindu yang tertua. Agama ini adalah sinkertisme yang dibentuk kompromi antara berbagai agama dan kebudayaan di anak benua India. Dua aliran agama yang bercampur dalam agama Hindu, yakni Dravida dan Indo Arya. Bangsa Dravida telah mencapai tingkat kebudayaan yang sangat tinggi jauh sebelum munculnya bansa Arya di anak benua Indo Pakistan sekitar 2500 SM. Mohenjo Daro memberi beberapa kata kunci sifat agama mereka. Berbagai gambar wanita di berbagai tembikar memberikan isyarat bahwa ada beberapa bentuk penyembahan terhadap tuhan ibu di kalangan mereka. Juga ada candi yang menunjukkan bentuk wanita yang dari perutnya keluar suatu tanaman, dan ini menunjukkan ide dari dewi bumi yang berhubungan dengan tanaman.

Dewi-dewi semacam ini adalah biasa dalam agama Hindu sekarang. Ini adalah prototipe dari dewi Hindu yang sebagai tuhan utama Shiva, Tuhan dari binatang buas dan pangeran Yogi. Dalam ajaran Hindu, ada kebebasan yang mutlak dalam meyakini ketuhanan. Seorang Hindu dapat saja percaya terhadap setiap konsepsi ketuhanan, yakni dalam upaya meyakini atau menerimanya. Sebagian besar filsafat Hindu berkeyakinan bahwa Realitas Akhir atau Tuhan ada Esa, Dia tidak terhingga, abadi, tidak berubah, dan mutlak. Semua orang Hindu yakin tentang konsep Tuhan seperti itu (nirgunna Brahman).

  • Agama Buddha[8]

Agama Buddha adalah revolusi yang lain terhadap agama Brahmana, dan gerakan besar ini tidak dapat bercampur lagi dengan agama Hindu. Buddha bukanlah suatu agama yang berbeda, melainkan suatu sistem yang positif. Namun demikian, setelah suatu masa sukses dan popularitas yang luas, agama ini terasing dari tanah kelahirannya oleh agama Hindu yang dibangkitkan lagi. Tetapi sebelum itu, agama Buddha telah tersebar ke berbagai negeri di luar India dan menjadi satu dari agama besar di dunia.  Hindu telah mengembangkan kegemaran untuk berfilsafat secara hitam putih, yang tiada lain kecuali mencari kebenaran atau menyalib orang. Ini adalah abad kekacauan yang penuh pertengkaran yang membingungkan. Dalam hutan dan gua-gua hiduplah banyak resi dan pertapa yang menjalankan penyiksaan diri dan menolak kesenangan bagi diri mereka untuk masa yang panjang dan percaya bahwa ini adalah jalan utnuk mencapai ketinggian rohani. Rakyat menyembah segala macam, mulai dari matahari hingga batu biasa, dewa yang tinggi hingga setan. Di dunia inilah, Siddharta yang mempunyai nama keluarga Gautama dan di belakang hari menjadi Buddha dilahirkan. Fakta sejarah mengenai kehidupan pendiri agama Buddha telah tenggelam dalam banjir dongen yang muncul sejak awal sejarah agama tersebut. Bahkan Ananda Coomaraswamy percaya bahwa Buddha bukanlah seorang manusia melainkan suatu mitos Dewa Matahari. “Pertimbangan-pertimbangan ini”, tulisnya, “membangkitkan pertanyaan apakah ‘kehidupan’ dan ‘penakluk kematian’ dan ‘Guru dari dewa dan manusia’ yang menyatakan bahwa ia dilahirkan dan diturunkan di dunia-Brahma, dan yang turun dari langit serta masuk dalam rahim dan lahir dar Maha Maya dapat dianggap sebagai fakta sejarah ataukah sekedar suatu mitologi di mana sifat dan tindakan dewa Weda yakni Dewa Agni serta Dewa Indra yang kurang lebihnya telah bercampur dengan jelas di dalamnya.”

Siddharta Gautama dilahirkan pada tahun 563 SM. di tanah Lumbini. Ayahnya, Suddhodana, seorang raja dari marga Sakya. Ibunya, Maya, meninggal dunia ketika dia berumur tujuh hari, dia dibesarkan oleh saudara perempuan ibunya, yakni Pajapati. Siddharta merasa sebagai tawanan dalam istana serta taman-taman kemewahan yang didirikan ayahnya. Kemudian dia mengadakan perjalanan guna melihat dunia nyata. Dalam perjalanannya, dia melihat pertapa tua berkepala gundul dengan jubah kuning, dan pandangannya kepada pertapa tua itu mengilhami keinginan untuk mencari kedamaian hidup keagamaan, dan ketentraman serta mengenakan jubah pendeta.

Orang-orang yang pertama kali dia menyampaikan risalahnya adalah lima pertapa yang ditinggalkannya saat dia menghentikan hidup bertapa. Dia mengajarkan kepada mereka Jalan Tengah, Empat Kebenaran Mulia, dan Delapan Segi Jalan ke Arah Keselamatan. Mereka menjadi murid-muridnya yang pertama dan Arahant (Wali yang sempurna). Jumlah pengikutnya bertambah dengan cepat. Selama empat puluh tahun mengajarkan Dharma dan Jalan Kedamaian abadi dan hidup kekal. Di akhir hidupnya dia mengatakan kepada para pengikutnya untuk membuat “diri sendiri sebagai tempat mengungsi, dan pengungsian Hukum Abadi mereka.” Kata-kata terakhirnya, “Dapat rusaklah segala perkara yang berpasangan; bekerjalah dalam kesungguhan demi tujuan anda.” Inti sari ajaran Buddha adalah cinta kasih yang terdapat dalam khotbahnya “Meletakkan diri dalam Gerak Roda Kebenaran”. Dia mengajarkan bahwa mereka yang ingin memasuki hidup keagamaan harus mencegah dua ekstrimitas yang mengumbar nafsu pribadi, hidup menyiksa diri, dan mengikuti jalan tengah. Dia mengungkapkan Empat Kebenaran Mulia:

  1. Kebenaran Pertama yakni tentang adanya penderitaan dan kesusahan di dunia ini.
  2. Kebenaran Kedua yakni menyatakan bahwa sebab dari penderitaan dan kesusahan itu adalah nafsu pribadi.
  3. Kebenaran Ketiga menjamin bahwa nafsu pribadi dan kesusahan dapat dibinasakan.
  4. Kebenaran Keempat menunjukkan jalan yang menuntut ke arah menghilangkan kesusahan dan ketidakbahagiaan.
  • Agama Kong Hu Chu[9]

China memiliki sejarah yang panjang dan mulia tiada tandingannya. Ketika sejarah mereka dimulai sekitar 2700 SM., watak, sifat, dan lembaga-lembaga di China telah mapan. Sekitar abad ke-VI SM. Tampak ada keadaan tanpa hukum yang besar pengaruhnya di China. Baik kehidupan politik, maupun keagamaan menjadi rusak dan merosot dari kemuliaannya yang semula. Dalam keadaan inilah, dua agama besar China yakni Kong Hu Chu dan Tao lahir. Dari segenap agama-agama di China, maka Kong Hu Chu telah meninggalkan kesan yang kuat dalam kehidupan dan kebudayaan China. Untuk hampir 25 abad, Kong Hu Chu dianggap oleh China sebagai Guru yang pertama yang mengatasi mereka dalam derajatnya. Confusisus adalah nama latin dari nama K’ung Fu-Tzu, dilahirkan pada tahun 551 SM. dari keluarga terpandang tapi miskin dan meraih sukses atas hasil usahanya sendiri. Kong Hu Chu menghindarkan diskusi mengenai hal-hal yang metafisik dan abstrak. Seorang mudirnya, Chung Yun, suatu kali bertanya kepada Tuannya tentang roh. Kong Hu Chu menjawab: “Bilaman engkau tidak dapat mengenal manusia, bagaimana engkau dapat mengenal roh?” Ketika dia ditanya tentang kematian: “Bilamana engkau tidak mengenal kehidupan, bagaimana engkau bisa mengetahui kematian?”

Kong Hu Chu percaya bahwa dunia ini dibangun berdasarkan landasan moral.[10] Jika manusia dan negara menjadi rusak akhlaknya, maka tata-susunan alam akan terganggu. Akan bencana peperangan, banjir, gempa bumi, paceklik yang panjang, dan wabah penyakit.” Kong Hu Chu tidak percaya adanya beban gaib, dosa asal, atau dosa yang diwariskan. Dia percaya bahwa manusia tidak memerlukan juru selamat yang secara mukjizat akan menghapus segala dosanya. Apa yang diperlukan manusia adalah seorang Guru ketulusan yang dengan sepenuhnya mempraktikkan ajaran-ajarannya dapat menjadi contoh teladan bagi manusia lainnya. Kong Hu Chu adalah Guru semacam itu yang dibangkitkan Tuhan. Selama periode Chin (221-207 SM) ada gerakan yang tidak terelakkan terhadap kemerdekaan berpikir pada akhir tahun Chou, yang ditandai dengan lahirnya “Seratus Aliran.”[11]  Dengan diilhami oleh reaksi inilah, maka Kaisar Shih Huang Ti menginginkan pengendalian aliran pemikiran dengan dekritnya yang terkenal buruk, yakni membakar semua karya mereka tentang ketuhanan, pengobatan, dan pertanian. Sebagai akibat dari dekrit ini, maka sebagian buku-buku Kong Hu Chu dimusnahkan menjadi abu dan tidak kurang dari 460 ahli pemikiran dihukum mati.  Namun dengan bangkitnya dinasti Han (206-220 SM) kebebasan berpikir muncul kembali di China. Tung Chu-shu mencoba membangkitkan kembali ajaran murni dari Kong Hu Chu tidak sekedar sebagai filsafat, melainkan juga sebagai agama yang sepenuhnya dengan aspek-aspek kerohanian akhlak dan budaya.

  • Agama Yahudi

Sejarah Bani Israil dimulai saat Abad Perunggu, di mana orang-orang Semit pindah dari peradaban yang menonjol di Lembah Efrata, mengikuti hancurnya kota tua Ur, dan menetap di negeri perbukitan yang terpisah di Kanaan Tengah dan Kanaan Selatan di tepi Laut Tengah. Pemimpin dari keluarga ini adalah seorang laki-laki, Abraham, yang tegak berhadapan melawan agama purba serta berhala rakyat dan dengan mengikuti Wahyu Ilahi. Karena keimanannya kepada Tuhan dan hidupnya yang saleh, Abraham dijanjikan bahwa keturunannya yang tulus akan menjadi besar di muka bumi ini.[12]

Agama Yahudi berlandaskan dua ajaran yang luas, keyakinan atas keesaan Tuhan dan terpilihnya Israil sebagai pembawa kepercayaan ini. selain ajaran tentang keesan-Nya adalah juga ke Maha Kuasaa-Nya dalam istilah Talmud “Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas oleh Kehendak-Nya. Konsepsi tentang Tuhan dalam banyak teks dari Alkitab adalah antropomorfis. Dia adalah menurut istilah Mathew Arnold, “seorang yang gagah perkasa dan tidak seperti orang biasa.” Dasar agama Yahudi sebagai suatu sistem keagamaan dan hukum moral adalah kesucian yang mengandung dua aspek: negatif dan positif. Kesucian agama meminta dalam arti negatif menolak semua penyembahan berhala, dan dalam arti positif dijalankannya suatu sistem dalam upacara yang dianggap bangsa Yahudi telah diwahyukan kepada mereka dari Tuhan.

  • Agama Islam

Agama Islam bersumber dari Al-Qur’an yang memuat Wahyu Allah dan Al-hadist yang memuat sunnah Rasulullah. komponen agama Islam dan unsur utama ajaran Islam ( akidah, syariah , dan akhlak ) di kembangkan dengan Ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Yang dikembangkan adalah ajaran agama dan yang terdapat dalam Al-Qur;an dan Al-hadist. Dengan kata lain,yang dikembangkan lebih lanjut supaya dapat dipahami manusia adalah wahyu Allah dan sunnah Rasul yang merupakan pedoman  agama Islam.  Dengan uraian singkat ini jelaslah bahwa sumber agama islam atau sumber ajaran islam,  Adalah  Al-Qur’an dan Al-hadist. Jelas pula bahwa ajaran islam adalah ajaran yang bersumber dari agama islam yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Dengan demikian, ajaran islam merupakan pengembangan agama atau ajaran agama islam. Sumber utamanya sama yaitu Al-Qur’an dan Al-hadist  dan pengembangan yaitu  Ra’yu atau akal pikiran manusia.[13]

Menurut ajaran Islam manusia dibekali Allah dengan berbagai perlengkapan yang sangat berharga antara lain akal, kehendak, dan kemampuan untuk berbicara. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, antara kenyataan dan khayalan. Dengan mempergunakan akalnya manusia akan selalu sadar. Dengan kehendak bebas yang diberikan Tuhan padanya, manusia dapat memilih jalan yang dilaluinya, membedakan mana yang mutlak dan mana yang nisbi. Karena manusia bebas menentukan pilihannya, ia dapat dimintai pertanggungan jawab mengenai segala perbuatannya dalam memilih sesuatu. Tanpa kebebasan (memilih) sukar dimintai pertanggungan jawaban.[14]  Dan tanpa kebebasan dan tanggung jawab, kehidupan manusia menjadi kurang bermakna.


[1] Drs. Aslam Hady, Pengantar Filsafat Agama (Jakarta:Rajawali Pers, 1986), hlm. 6.

[2] Ibid.,

[3]Hotman M. Siahaan, 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), hlm, 46.

[4]Emile Durkheim, TheElementary Forms of the Religious Life (NewYork: Pree Press, 1995), terj.Inyak Ridhwan Muzir, Sejarah Agama (Yogyakarta : Ircisod Press, 2003), hlm. 27.

[5] Ibid.,

[6] Ibid.,

[7] A.G. Honig Jr, Ilmu Agama  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm.  124.

[8] Ibid., hlm. 169.

[9] Lee T Oei, Etika Konfusius Dan Akhir Abad 20 (Solo : Matakin, 1991), hlm. 53.

[10] M. Ali Imron, Sejarah Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hlm. 229

[11] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia (Jakarta: Pelita Kebajikan: 2005), hlm. 11.

[12] M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia  (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hlm. 347.

[13] H. Mohammad Daud Ali, S.H, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT. Raja Grapindo  Persada, 2006), hlm. 20.

[14] Ibid.,