Mukidi dan Tai Ayam
by : Arcadius Benawa
MUKIDI pergi ke gereja naik sepeda. Di tengah jalan ban sepedanya melindas paku tajam, “bleesssss….” Ban sepeda kempes. Mukidi turun tidak percaya. Ia pencet ban sepedanya. “Woow.. kempes.” Ia tuntun sepedanya beberapa ratus meter. Tali sandal yang dia pakai putus. Sandal dia buang. Dengan kaki telanjang dia berjalan sambil menuntun sepeda. Tanpa sengaja kakinya menginjak “telek lencung”. Ia tidak percaya. Tangannya meraba kaki yang menginjak benda sedikit lembek. Ia membaui tangannya. “Wow.. taik ayam.”
Kita ini punya rasa ingin tahu, tidak mudah percaya, ingin melihat bukti nyata. Sifat-sifat itu melekat dalam diri kita. Sudah diminta untuk diam di rumah supaya bisa menyetop penyebaran virus corona, tetapi orang masih tetap berkumpul di kafe atau warung-warung. Rasa ingin tahu dan tidak mudah percaya itulah yang sering mendorong orang berbuat sesuatu.
Sesudah Yesus bangkit, beberapa kali Dia menampakkan diri kepada para murid. Ia memberi salam kepada mereka, “Damai sejahtera bagi kamu.” Dia datang bukan membawa ketakutan, tetapi membawa damai sejahtera. Thomas atau Didimus adalah salah satu murid yang belum pernah melihat Tuhan. Maka dia tidak percaya kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Tidak percaya dan ingin membuktikan sendiri itulah niatnya Thomas.
Seperti Mukidi, sudah tahu dia menginjak taik ayam, namun jarinya masih tetap ingin membuktikan bahwa benar itu taik ayam, bahkan belum puas jika belum menciumnya sendiri. Thomas sudah mendengar dari cerita beberapa murid, juga para wanita bahwa Yesus bangkit. Tetapi dia ingin membuktikan sendiri bahwa Yesus sungguh bangkit.
Yesus memberi waktu dan tempat khusus kepada Thomas. Ia menampakkan diri saat murid-murid berkumpul bersama Thomas. Akhirnya dia mengakui, “Ya Tuhanku dan Allahku.” Itulah pengakuan iman yang tulus. Di hadapan Yesus, kita mengakui, Dialah Tuhan dan Allah kita. Tuhan menghibur kita semua, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.” Kita tidak mungkin melihat Yesus yang bangkit. Tetapi kendati demikian, kita percaya bahwa Yesus hidup di tengah-tengah kita. Mari kita hidupi iman kita ini dengan saling mengasihi, supaya dengan demikian aroma kepercayaan kita akan Yesus yang bangkit itu dapat dicium oleh orang-orang sekitar kita. Dengan demikian kepercayaan akan Yesus yang bangkit itu berdampak dan bukan sekadar klaim kepercayaan yang tanpa makna dalam hidup kita. Minim, misalnya kita menjadi orang yang tidak mudah patah hati, atau kehilangan harapan bila menghadapi sejumlah masalah atau kesulitan, melainkan tetap optimis, hopeful.