Connections between Religion and Nature Spiritually
Sherine Anissa Febriana (2201805956)
Management (Business Organization) – LB21
Sebuah agama mengkristalisasikan kumpulan ajaran yang dapat ditransmisikan dari para guru (leluhur; manusia) dan praktik-praktik yang ditentukan tentang realitas atau kondisi keberadaan yang mengungkapkan penghormatan atau kekaguman, sebuah institusi yang membimbing para penganutnya ke dalam apa yang digambarkannya sebagai hubungan yang menyelamatkan, menerangi, atau emansipatoris dalam hal ini. Kenyataan melalui kehidupan doa yang transformatif secara pribadi, meditasi ritual, dan / atau praktik-praktik moral seperti pertobatan dan regenerasi pribadi. [Definisi “Agama” dalam Kamus Filsafat Agama, Taliaferro & Marty 2010: 196–197; 2018, 240.]
Secara pribadi saya berpikir dan merasakan bahwa agama adalah doktrin yang diturunkan dan diajarkan oleh generasi ke generasi. Agama adalah sesuatu yang berawal dari dipelajari, lalu dipercayai, dan diimani. Agama adalah kepercayaan yang mengajarkan norma, moralitas, spiritualitas, tabu, dan budaya.
Pada dasarnya, semua agama mengajarkan dan menjunjung tinggi kebaikan. Agama adalah di mana manusia berikhtiar untuk mencari ketenangan dan kepuasan akan hal yang tidak diketahui. Agama memberikan ketenangan dan rasa damai dengan memberikan ruang untuk merenung dan refleksi diri akan apa yang dialami dan telah perbuat dalam kehidupan ini. Agama juga mengajarkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam.
“Dalam semua hal alami, ada sesuatu yang luar biasa”
Aristoteles, kritikus Yunani, ahli fisika, ahli biologi (384 SM – 322 SM)
Tanggapan saya mengenai krisis lingkungan yang terjadi pada era saat ini dapat diuraikan sebagai berikut. Sebagai manusia yang merupakan makhluk biotik, sudah menjadi hukum alam bahwa unsur yang biotik dapat dihidupi dengan yang abiotik, yang mati dapat dihidupkan dengan yang hidup, dan sebaliknya.
Esensi dari kehidupan adalah untuk menemukan keseimbangan. Keseimbangan kehidupan, spiritual, dan mental psikologis. Alam telah lama menghidupi kita, menyediakan kita dengan oksigen, air, dan matahari (solar). Kita adalah satu dengan alam. Maka dari itu kita sebagai makhluk “beriman” dan “spiritual” seharusnya menyayangi, dan menghargai tinggi lingkungan, karena dengan beriman kita akan mempunyai jiwa spiritual yang tinggi juga. Sebagai manusia yang beriman, seharusnya kita menjaga keseimbangan kehidupan kita dan kehidupan alam.
Krisis lingkungan terjadi karena sifat serakah manusia, yang ingin selalu untung, bisnis yang mengkapitalisasi dan memprofitasi sampai aspek-aspek yang tidak lagi lazim. Seperti pengerukan tambang berlebihan hingga menyebabkan kerusakan tanah, penebangan pohon berlebihan sehingga merugikan ekosistem. Tanpa disadari kehidupan kita telah dikelilingi oleh konsumerisme berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan alam. (Listrk, Minyak Bumi, Konsumsi berlebih terhadap fauna (Binatang) dan Batubara)).
Sang Buddha memahami bahwa penghargaan terhadap hewan dan lingkungan itu sangat penting. Beliau mengajarkan metta, sebagai wujud aktif dalam menghargai hewan dan karuna sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak tanaman dengan memetik, juga melarang mengotori lingkungan. Itu artinya bahwa sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam karena beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam.