Bukan Sekadar Tumbler Hilang: Ketika Media Sosial Menguji Ego, Empati, dan Etika Kita

Oleh: Petrus Hepi Witono – D5048

https://orcid.org/0000-0001-6903-2359

“You think you want nice stuff, but what you really want is respect, admiration, and attention.” – The Art of Spending Money, Morgan Housel

Kutipan Morgan Housel ini terasa semakin relevan sejak saya terjun ke dunia media sosial sejak 2014. Dari blog hingga TikTok, saya belajar satu hal penting: berhati-hati. Media sosial bukan sekadar tempat berbagi, tetapi arena pencarian pengakuan yang sering kali menggiring kita pada drama yang sebenarnya tidak perlu.

Kasus viral tumbler yang hilang di KRL menjadi contoh nyata bagaimana sebuah masalah kecil bisa berubah menjadi pusaran besar hanya karena “Word of Mouse”—versi digital dari “Word of Mouth”. Informasi menyebar cepat, opini bertebaran liar, dan batas antara fakta serta asumsi semakin kabur. Algoritma bergerak, publik terpancing, dan tiba-tiba semua ikut berkomentar. Dampaknya? Kedua belah pihak terseret dalam konflik yang sebetulnya bisa selesai lebih cepat bila komunikasi berlangsung dengan tenang.

Untungnya, KAI Commuter dan KAI Wisata memilih jalur mediasi. Petugas Passenger Service Stasiun Rangkasbitung dan pengguna jasa yang merasa barangnya hilang dipertemukan, berdialog, dan saling memaafkan. Tidak ada pemecatan, tidak ada drama tambahan—hanya penyelesaian secara kekeluargaan yang menegaskan pentingnya empati, keterbukaan, dan profesionalitas. KAI pun menegaskan komitmennya meningkatkan layanan, termasuk evaluasi prosedur lost and found agar kejadian serupa tak menimbulkan kesalahpahaman.

Di balik hiruk-pikuk viralnya peristiwa ini, ada pelajaran yang jauh lebih besar. Media sosial dapat menjadi alat bantu atau alat perusak—semuanya bergantung pada cara kita menggunakannya. Satu unggahan bisa memecah konflik, tapi juga bisa memecah suasana. Satu kalimat bisa menenangkan, tapi juga bisa memperkeruh keadaan. Pada akhirnya, kualitas diri seseorang tercermin dari kualitas kata-katanya. Kualitas diri seseorang sering kali tampak dari kualitas kata-kata yang ia lepaskan ke ruang publik.

Kasus tumbler ini mengingatkan kita bahwa tak semua hal perlu dipamerkan untuk mencari pengakuan. Yang kita cari sering kali bukan perhatian, tetapi penghargaan. Dan penghargaan sejati datang bukan dari dramatisasi, tetapi dari cara kita menghargai orang lain.

Kadang, kejadian kecil mengajarkan kita hal besar. Dan pelajarannya kali ini jelas: tenang sebelum bereaksi, bijak sebelum berbicara, dan berhati-hati sebelum membawa persoalan pribadi ke panggung bernama media sosial.

Berkah Dalem

Petrus Hepi Witono