Benarkah Otak Saya ‘membusuk’ Gara-gara Sering ‘menggulir’?

Oleh: Tedi Lesmana M.

Pernahkah Anda merasa sulit fokus, ‘pikiran kosong’, dangkal, terfragmentasi, cepat bosan, menurunnya ketahanan ‘berpikir dalam’, seolah mengalami capek mental padahal tanpa kerja kognitif yang berat? Ini adalah ciri-ciri pergeseran pola aktivitasi dan kebiasaan neurokognitif.

Dopamine loop & reward prediction error

Akibat dari paparan konten cepat video pendek, notifikasi yang sering muncul, atau aktivitas menggulir pada aplikasi media sosial digital, telah memicu ‘dopamine burst‘ kecil tetapi sering; otak terbiasa pada stimulus cepat, dangkal, dan tak berkelanjutan. Dengan pembiasaan baru di otak ini, aktivitas yang imbalannya lambat (seperti membaca, berpikir dalam, atau menulis) menjadi terasa “tidak menarik”. Ini bukan kecanduan tetapi habitual reinforcement loop. Ringkasnya sebab otak manusia bersifat neuroplastik, kebiasaan kita dapat mengubah pola otak bekerja dan sebaliknya otak mempengaruhi balik bagaimana kita berperilaku.

Atrofi fungsional pada jaringan atensi

Pada otak bagian depan yaitu Prefrontal Cortex (PFC) terdapat lokasi proses perencanaan, fokus, dan inhibisi. Di sini juga bertempat proses Default Mode Network (DMN) yang bertanggungjawab atas pross refleksi, pembentukan makna, dan integrasi pengalaman. Akibat pola konsumsi (kebiasaan) informasi yang cepat, terpotong, dan non-reflektif membuat jaringan ini jarang dipakai secara berkelanjutan. Ini sesuai dengan prinsip neurosains yaitu “sel-sel saraf yang tidak aktif bersamaan, tidak akan terhubung secara bersamaan.” Atau, sering dikatakan, “jika Anda tidak ‘menggunakannya’, Anda akan ‘kehilangannya'”.

Beban kognitif yang minim makna

Dari gejala yang disinggung di awal, dapat dijelaskan bahwa otak yang ‘lelah’ sejatinya bukan karena banyak berpikir tetapi karena terlalu banyak ‘berpindah’ (switching), banyak masukkan tanpa ‘makna’, yang menyebabkan kelelahan mental. Otak seolah ‘tumpul’, padahal intelektual tetap utuh.

Mengembalikan habitus reflektif dan kedalaman

Sebab ini bukan perubahan struktural, melainkan ‘sekedar’ kebiasaan fungsional, maka ini dapat dikembalikan (reversible). Ini persoalan plastisitas otak dan karenanya dapat dikondisikan kembali. Membangun kebiasaan membaca, menulis, fokus yang berkelanjutan, atau latihan keheningan konstan tanpa stimulus dapat memulihkan ‘fungsi atensi’ dan kedalaman berpikir dapat kembali dipulihkan.

Ketika politik etis baru masuk di awal abad 20 di Indonesia, banyak sekolah-sekolah yang digagas. Guru-guru membaca buku dan murid-murid mendengarkan. Bukan karena murid tidak mau membaca, tetapi sebab hanya guru yang memiliki buku, sehingga hanya guru yang membaca dan para murid menyimak. Lain lagi ketika kebiasaan membaca buku dan surat kabar masih banyak dilakukan masyarakat Indonesia, proses membalik-balik halaman atau kertas membutuhkan waktu yang relatif lambat. Semua peristiwa tadi membentuk pola fungsional otak setiap generasi.

Kondisi dan situasi di atas mengondisikan otak lebih ‘tahan’ dalam kedalaman dan kesabaran, tidak mudah lelah, dan tidak terpicu oleh letupan dopamine yang terus menerus. Jaman dan kondisi saat itu membentuk mentalitas ketekunan bertahan (perseverantia), sustained/spanning focus, kesabaran temporal, serta kehati-hatian (cognitive restraint) yang berbeda dengan jaman-jaman setelahnya.

Jaman berubah, teknologi berkembang, dan manusia beradaptasi dengan jamannya. Pertanyaannya apakah kita memilih dikendalikan oleh perubahan jaman yang seperti kuda liar atau tetap sebagai kusir memegang kendali? Mungkin ada baiknya kita membangun tradisi ‘waktu membaca’ pada kurikulum sebagai suatu kebiasaan baru.

-selesai-

Tedi Lesmana M