Traveling Sebagai Sarana Pembentukan Wawasan Global dan Kesejahteraan Psikologis 

Oleh:  Mesa Larianti Dwi Safitri – NIM : 2902661372

Traveling atau bepergian bukan lagi sekedar aktivitas untuk bersantai dan melepas penat . Bagi banyak , orang , traveling telah menjadi gaya hidup sekaligus sarana untuk memperkaya diri, baik secara emosional, sosial maupun intelektual. Melihat tempat baru, bertemu dengan orang-orang dari latar belakang berbeda, dan mencicipi budaya yang tidak kita temui sehari-hari menjadi pengalaman berharga yang sulit terganti.

Traveling dalam perpektif akademik juga bukan hanya kegiatan rekreatif, tetapi juga sebuah proses pembelejaran sosial, pengayaan budaya, dan pengembangan diri. Menurut Cohen & Cohen (2015), pariwisata modern memiliki dimensi transformasional, dimana perjalanan memberikan peluang bagi individu untuk memperoleh pengalaman baru yang dapat memengaruhi cara berpikir, nilai, serta perilaku. Dengan demikian, traveling dapat dipahami sebagai aktifivitas multidimensional yang mencakup aspek kognitif, emosional, dan sosial.

Saya pertama kali menyadari hal tersebut ketika melakukan perjalanan singkat ke Bali. Bukan perjalanan mewah,hanya backpacking sederhana dengan kearifan lokal budaya Bali bersama wisatawan lainnya. Namun, dari kota yang penuh dengan keragaman budaya nya, saya menemukan pemahaman baru mengenai kehidupan dan indentitas. Di sepanjang Jalan Ubud , saya menyaksikan berbagai seni dan kerajinan tradisional dengan identitas yang kuat.

Saya juga menyaksikan keragaman manusia dari berbagai latar belakang : Wisatawan mancanegara yang antusias dengan kerajinan dan seni, mencoba berbagai adat yang diterapkan , hingga pedagang kerajinan yang tetap ramah meski harus bekerja hingga larut malam . Interaksi-interaksi ini membuka pandangan bahwa setiap individu memliki ritme hidup , nilai , dan perjuangannya masing-masing.

Secara teoritis, pengalaman tersebut berkaitan dengan konsep Intercultural learning, yaitu proses memahami dan beradaptasi dengan budaya lain ( Deardoff, 2006). Traveling memungkinkan seseorang belajar langsung mengenai nilai budaya melalui kontak sosial dan observasi langsung. Selain itu, menurut penelitian Uysal, Sirgy, Woo & Kim (2016) kegiatan wisata juga memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan psikologis individu, terutama dalam aspek relaksasi mental, peningkatan kesejahteraan emosional, serta penguatan hubungan sosial .

Tidak hanya berefek pada wawasan emosi, traveling juga mengasah keterampilan adaptasi dan problem solving. Dalam perjalanan tersebut , saya sempat tersesat di Penglipuran ketika hendak mengunjungi budaya lokal dan arsitektur tradisional. Alih-alih panik, saya mencoba berkomunikasi dengan warga lokal dan mengikuti petunjuk mereka. Situasi sederhana ini justru menjadi pelajaran penting bahwa kemampuan bekomunikasi dan flektibilitas adalah kunci dalam menghadapi ketidak pastian, baik dalam perjalanan maupun kehidupan sehari-hari .

Pengalaman travel seperti ini menunjukkan bahwa perjalanan bukan sekedar pelarian sesaat dari rutinitas , melainkan bentuk pembelajaran nyata yang memperkaya pengetahuan , membentuk karakter, dan memperluas empati sosial. Dengan melihat dunia diluar zona nyaman, ketika diberi kesempatan untuk memahami keragaman, menilai ulang perspektif pribadi, dan membangun identitas global yang lebih terbuka.

Daftar Pustaka

  • Cohen, E., & Cohen , S.A (2015). A mobilities approach to tourism. Annals of Tourism Research, 44, 130-142
  • Deardoff, D.K (2006). Indentification and assessment of intercultural competence. Journal Of Studies in Internasional Educatioan, 10(3), 241-266
  • Uysal, M., Sirgy, M.J., Woo, E., & Kim, H (2016). Quality of life and well-being research in tourism: A critical review. Tourism Management,53, 122-134
Yustinus Suhardi Ruman