Persoalan Salah Jurusan Mahasiswa

Oleh: Catherine Hyatt Wang (2902586555)

Apa kata mereka? Bill Gates adalah seorang mahasiswa fakultas hukum yang di drop out (DO) namun sempat menjadi orang terkaya di dunia. Nyatanya tidak semua orang adalah Bill Gates, pertama dia di DO dari Harvard Law School, sekolah hukum terbaik dunia, memiliki latar belakang keluarga yang sangat mapan. Di zaman itu orang tuanya adalah pemilik tambang di Afrika Selatan. Bill Gates memang benar tidak sama sekali pernah belajar tentang ilmu komputer. Namun, otak jenius dan sumber daya yang ia miliki menjadi faktor pendukung terbesarnya. Sekarang, apa jadinya jika inspirasi mahasiswa adalah kasus yang sifatnya 1 dari sejuta?

Mahasiswa, derajat tertinggi pelajar. Menurut Kemendikbudristek ada 8 juta jiwa muda yang berkesempatan duduk di bangku perguruan tinggi. Hanya 27% pemuda beruntung Indonesia yang memiliki kesempatan menimba ilmu pendidikan lanjut. Sisanya harus menggantung mimpinya karena berbagai alasan. Belajar di universitas hari ini adalah sebuah kebanggaan, meniti karier dari akar terdalamnya, pendidikan. Menjadi spesialis atau profesional adalah tujuan akhir dari perjuangan belajarnya. Namun apakah mereka yang memiliki kesempatan ini dapat memanfaatkan sebaik-baiknya?

Sekitar 50-60% dari mahasiswa di Indonesia merasa kurang cocok atau salah memilih jurusan setelah masuk perguruan tinggi. Fenomena ini terjadi ketika mahasiswa merasa bahwa bidang studi yang mereka pilih tidak sesuai dengan minat atau potensi mereka. Sebuah kenyataan yang sayangnya diderita banyak insan muda di seluruh negeri. Kenyataan pilu ini adalah sebuah agenda darurat negara karena penerus bangsa diambang kebingungan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada berbagai faktor yang mendorong mahasiswa salah memilih jurusan. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang minat, bakat, dan potensi diri. Di usia yang masih muda, banyak siswa SMA yang tidak memiliki panduan untuk mengenali potensi atau minat sebenarnya. Selain itu, tekanan dari lingkungan sosial – baik keluarga maupun teman – turut mendorong siswa memilih jurusan yang dianggap “populer” atau menjanjikan peluang kerja tinggi, walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan jati diri mereka.

Tidak hanya itu, sistem pendidikan kita juga memainkan peran besar dalam fenomena ini. Kurikulum pendidikan di tingkat SMA tidak memberikan cukup ruang untuk eksplorasi minat dan bakat siswa. Siswa lebih banyak dihadapkan pada tuntutan nilai akademis daripada dorongan untuk menemukan apa yang sebenarnya ingin mereka tekuni. Akibatnya, banyak yang memilih jurusan kuliah hanya berdasarkan saran orang lain atau anggapan umum tanpa mempertimbangkan ketertarikan mereka secara mendalam.

Masalah salah jurusan ini tentu berdampak luas. Mahasiswa yang merasa salah jurusan umumnya kehilangan motivasi untuk belajar. Bagi sebagian dari mereka, hal ini tidak hanya memengaruhi prestasi akademik tetapi juga merusak kesehatan mental mereka. Mereka merasa terjebak dalam jurusan yang tidak memberikan rasa puas atau kebanggaan, bahkan merasa kehilangan tujuan dalam perjalanan pendidikan mereka. Keadaan ini mengarah pada ketidakbahagiaan dan penurunan produktivitas yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia bangsa ini.

Lantas, apa solusi yang bisa diambil? Pertama-tama, penting bagi mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang minat dan bakat mereka sejak awal. Di sinilah peran penting bimbingan konseling di sekolah dan perguruan tinggi yang harus lebih dioptimalkan. Konselor pendidikan dapat memberikan pendampingan dan penilaian yang objektif tentang potensi dan minat siswa, sehingga siswa dapat menentukan pilihan yang lebih tepat sejak awal.

Selain itu, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu melakukan reformasi kurikulum. Misalnya, dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang lebih fleksibel di tingkat perguruan tinggi, di mana mahasiswa dapat mencoba beberapa bidang studi di tahun pertama mereka sebelum memutuskan untuk mengambil jurusan tertentu. Hal ini dapat membantu mahasiswa untuk lebih mengenal minat dan kemampuan mereka sebelum terikat pada satu bidang studi secara permanen.

Kemudian, kita perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat, termasuk keluarga, bahwa setiap bidang studi memiliki prospek dan nilai yang sama pentingnya. Tidak seharusnya ada anggapan bahwa jurusan tertentu lebih bergengsi atau lebih menjanjikan daripada yang lain. Setiap anak muda memiliki potensi untuk berprestasi di bidang yang mereka cintai, tanpa harus merasa tertekan oleh ekspektasi orang lain.

Dengan solusi-solusi ini, kita berharap bisa mengurangi angka mahasiswa yang merasa salah jurusan dan meningkatkan kebahagiaan serta produktivitas mereka dalam belajar. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan penting bagi kita semua untuk mendukung generasi muda dalam menemukan tempat yang tepat bagi mereka.

Yustinus Suhardi Ruman