Feminisme : Perjuangan Kesetaraan atau Kebencian Terhadap Laki-Laki?
Oleh: Fransisca Pusparani Prasetyo
Feminisme seringkali disalahartikan sebagai gerakan yang membenci laki-laki. Stigma ini terus mengakar, terutama di masyarakat yang masih memegang kuat nilai-nilai patriarki. Bahkan, tidak jarang istilah “feminis” digunakan sebagai label negatif untuk menggambarkan perempuan yang dianggap terlalu vokal atau anti-laki-laki. Padahal, jika kita menelaah lebih dalam, feminisme justru lahir dari nilai-nilai kemanusiaan universal yang menginginkan keadilan dan kesetaraan bagi semua orang, tanpa memandang gender. Pertanyaannya, dari mana akar kesalahpahaman ini bermula?
Feminisme pada dasarnya berfokus pada dekonstruksi sistem patriarki yang tidak hanya membatasi perempuan, tetapi juga menjebak laki-laki dalam berbagai ekspektasi sosial. Contohnya, anggapan bahwa laki-laki harus kuat, tidak boleh menangis, dan wajib menjadi pencari nafkah utama atau menjadi tulang punggung keluarga. Sistem ini pada akhirnya menciptakan beban psikologis yang berat bagi laki-laki, karena mereka dipaksa untuk menekan emosi dan memikul tanggung jawab ekonomi sendirian. Dalam banyak hal, feminisme justru ingin membebaskan laki-laki dari tekanan tersebut.
Tuduhan bahwa feminisme anti-laki-laki umumnya muncul dari narasi yang diambil secara tidak utuh seperti ekspresi kemarahan terhadap ketidakadilan yang disalahartikan sebagai kebencian personal, atau suara minoritas yang terlalu diekspos media. Selain itu, resistensi terhadap feminisme juga sering berakar pada ketakutan akan perubahan struktur sosial yang telah mapan selama ini. Padahal, musuh dari gerakan ini bukanlah laki-laki sebagai individu, melainkan struktur sosial yang tidak adil.
Feminisme pada hakikatnya mengajak kolaborasi, bukan konfrontasi. Banyak laki-laki yang kini menyadari bahwa menjadi feminis justru menguntungkan bagi mereka dengan terciptanya ruang untuk lebih terbuka, hubungan yang setara, serta pembagian peran domestik yang lebih adil. Gerakan feminisme interseksional modern justru mendorong dialog yang konstruktif antara semua gender untuk bersama-sama membangun masyarakat yang lebih adil.
Dengan demikian, feminisme bukanlah tentang perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan bersama menuju tatanan masyarakat yang lebih inklusif dan manusiawi. Pada praktiknya, feminisme mengajak kita semua untuk merefleksikan ulang norma-norma gender yang selama ini membelenggu baik perempuan maupun laki-laki. Pada akhirnya, kesetaraan bukan hanya mimpi perempuan, tetapi kebutuhan semua manusia.