Sumpah Pemuda Bukanlah Simulacra
Oleh: Markus Kurniawan
Setiap tahun bangsa Indonesia memperingati peristiwa monumental 28 Oktober 1928, yaitu lahirnya Sumpah Pemuda. Di momen itu, para pemuda dari berbagai suku, agama, bahasa, dan latar belakang kultural menyatukan tekad untuk bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Peristiwa ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan. Namun, di era kontemporer yang sarat dengan wacana tentang “simulacra” dan “hiperrealitas” (Jean Baudrillard), muncul pertanyaan kritis: benarkah Sumpah Pemuda hanya sebuah “simulacra,” sebuah representasi simbolis tanpa realitas? Tulisan ini menegaskan: Sumpah Pemuda bukanlah simulacra.
Simulacra dan Risiko Pengosongan Makna
Jean Baudrillard menjelaskan bahwa simulacra adalah bentuk representasi yang tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan berdiri sendiri sebagai realitas semu yang dipercaya lebih nyata dari kenyataan (Simulacra and Simulation: 1994). Dalam konteks politik, peringatan hari besar sering kali jatuh ke dalam jebakan ini: ia diperingati secara seremonial, penuh simbolisme, namun kehilangan substansi historis dan praksis. Banyak peringatan nasional di berbagai bangsa akhirnya hanya menjadi ritual tahunan yang “menggugurkan kewajiban,” bukan peristiwa reflektif. Apakah hal ini terjadi juga pada Sumpah Pemuda? Jika dilihat lebih dalam, justru peristiwa 1928 itu mengandung substansi nyata, bukan hanya simbol. Ia lahir dari pergulatan historis, politik, dan kultural yang konkret.
Sumpah Pemuda Sebagai Realitas Sejarah
Sumpah Pemuda bukanlah hasil rekayasa ideologis dari atas, melainkan lahir dari kesadaran organik para pemuda di tengah cengkeraman kolonialisme Belanda. Organisasi-organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes, hingga Pemuda Kaum Betawi, telah berproses dalam dinamika pergerakan sebelum akhirnya meleburkan ego kedaerahan ke dalam satu tekad kebangsaan (Sartono Kartodirdjo;1992). Ketika para pemuda mengucapkan ikrar itu, mereka sungguh-sungguh bertaruh dengan risiko: diawasi pemerintah kolonial, dicurigai sebagai gerakan subversif, bahkan berpotensi dipenjara dengan durasi yang tidak singkat. Dengan demikian, ikrar itu bukan simulasi yang melayang di udara; ia adalah tindakan nyata yang mengubah arah sejarah bangsa.
Yang Sering (Sengaja) Dilupakan: Locus Eventus.
Fakta sejarah yang sering terlupakan ialah bahwa peristiwa Sumpah Pemuda berlangsung di sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, milik seorang keturunan Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Fakta ini sangat penting karena menunjukkan bahwa semangat persatuan bukan hanya dimiliki oleh golongan pribumi, melainkan melibatkan partisipasi lintas etnis. Keberanian Sie Kok Liong meminjamkan rumahnya bagi pertemuan para pemuda adalah tindakan nyata solidaritas kebangsaan.
Dalam konteks kolonialisme, posisi etnis Tionghoa sering kali berada di antara kecurigaan dan diskriminasi, baik dari pihak Belanda maupun masyarakat pribumi. Posisi ‘serba salah’. Namun, peristiwa Sumpah Pemuda memperlihatkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak awal melibatkan banyak unsur, termasuk Tionghoa-Indonesia. Fakta ini mempertontonkan bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar “tontonan simbolis,” melainkan kenyataan kolaboratif yang otentik.
Bahasa Indonesia: Dari Dialek ke Bahasa Persatuan
Salah satu bukti konkret lain bahwa Sumpah Pemuda bukan simulacra adalah pengangkatan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang kemudian disebut bahasa Indonesia. Keputusan ini bukanlah simbol kosong, melainkan sebuah strategi politik dan kultural yang sangat berani. Para pemuda menolak bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan, meskipun secara status lebih tinggi, dan memilih bahasa Melayu sebagai representasi inklusif. Dari sinilah terbukti bahwa Sumpah Pemuda melahirkan realitas baru: bahasa Indonesia yang sekarang menjadi bahasa nasional yang hidup dan digunakan sehari-hari oleh ratusan juta orang (Benedict Anderson: 2006).
Menghindari Simulacra dalam Peringatan Sumpah Pemuda.
Tentu ada risiko bahwa di zaman modern, peringatan Sumpah Pemuda bisa tergelincir menjadi “simulacra”—seremonial tanpa refleksi. Namun, hal itu adalah soal cara kita memperingati, bukan hakikat peristiwa aslinya. Sumpah Pemuda 1928 sendiri adalah realitas yang lahir dari darah dan air mata perjuangan, bukan rekayasa simbolik. Oleh karena itu, tugas generasi kini adalah menjaga agar peringatan itu tetap berakar pada substansi: membangun persatuan, melawan intoleransi, dan merawat keberagaman. Termasuk mengingat kontribusi pihak-pihak yang selama ini terlupakan, seperti Sie Kok Liong dan peran komunitas Tionghoa-Indonesia.
Penutup
Sumpah Pemuda bukanlah simulacra. Ia adalah realitas historis yang nyata, lahir dari pergulatan politik, sosial, dan kultural, serta ditopang keberanian para pemuda lintas etnis. Fakta bahwa ia terjadi di rumah milik seorang keturunan Tionghoa menegaskan bahwa semangat persatuan bangsa Indonesia sejak awal bersifat inklusif. Tantangan kita sekarang adalah menghindari terjebak dalam “hiperrealitas peringatan”—sekadar ritual kosong yang sering disertai dengan kata ‘wajib’—dan menghidupkan kembali substansi perjuangan itu dalam praksis kebangsaan hari ini.