Noblesse Oblige

Oleh: Markus Kurniawan

Istilah noblesse oblige berasal dari Prancis, digunakan sejak abad ke-19, tetapi akarnya sudah ada sejak Eropa feodal Abad Pertengahan. Dalam masyarakat feodal, kaum bangsawan (noblesse) memiliki hak istimewa seperti kepemilikan tanah (bahkan budak), perlindungan hukum khusus, dan akses langsung ke raja. Namun, bersamaan dengan hak tersebut, disadari melekat pula tanggung jawab moral untuk melindungi rakyat, memimpin dengan adil, dan kewajiban membela negara. Istilah ini kemudian dipopulerkan pada abad ke-19 di Prancis untuk menegaskan bahwa kehormatan sejati bukan hanya soal status, tetapi soal perilaku, yaitu laku bertanggung jawab terhadap kewajibannya.

Secara harfiah, noblesse oblige berarti “kemuliaan mewajibkan”, yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar pula tanggung jawab moralnya. Dalam kerangka etika, ini mirip dengan prinsip filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles yang menekankan bahwa kehormatan sejati lahir dari virtue (kebajikan), bukan semata-mata dari garis keturunan atau jabatan. Dalam konteks modern, noblesse oblige tidak hanya berlaku untuk bangsawan atau aristokrat, tetapi juga pemimpin politik, pengusaha, selebritas, dan siapa pun yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Biasa kita kenal sebagai public figure.

Prinsip ini sebenarnya dekat dengan nilai Pancasila, khususnya sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Dalam konteks Indonesia, noblesse oblige bisa menjadi panduan moral bagi pejabat publik, terutama di tengah maraknya kasus penyalahgunaan jabatan. Pemimpin yang paham noblesse oblige akan menyadari bahwa jabatan adalah pemberian kepercayaan, dan itu menuntut pengorbanan, bukan sekadar fasilitas dan penghormatan.   Pemimpin yang ideal tidak hanya “baik hati” secara pribadi, tapi juga memastikan sistem yang ia jalankan adil dan inklusif. Moralitas pribadi tanpa mekanisme demokratis bisa jatuh jadi otoritarianisme yang “ramah” di permukaan tapi bisa kejam di dalam. Sebaliknya, demokrasi tanpa keadilan substantif bisa melahirkan kebijakan yang sah secara prosedural tapi kejam bagi yang lemah.

Di abad ke-21, rakyat semakin sadar bahwa legitimasi pemimpin bukan datang dari gelar atau garis keturunan, melainkan dari kemampuan menggabungkan hati nurani, keterbukaan, dan keadilan. noblesse oblige mengingatkan kita bahwa kekuasaan bukan hak istimewa yang bebas digunakan sesuka hati. Habermas menuntut kita untuk tidak diam ketika kebijakan dibuat tanpa suara publik. Baginya, kekuasaan yang sah lahir dari proses diskusi yang rasional dan setara. “Legitimacy rests on the conviction, shared by all citizens, that political power is exercised in accordance with norms they themselves could have agreed to.” (Between Facts and Norms.MIT Press, 1996, h 110). Pendekatan ini menekankan bahwa demokrasi bukan hanya memilih pemimpin tiap lima tahun, tapi juga memastikan ada komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat setiap kali keputusan penting diambil. Komunikasi tersebut dapat dimaknai sebagai antara pejabat yang menyadari noblesse oblige nya dengan rakyat yang dipimpinnya. Di titik inilah, kepemimpinan sejati diuji. Bukan ketika segalanya mudah, tapi ketika badai datang — dan kala itu pemimpin sejati akan memilih berdiri di sisi rakyatnya bukan mengorbankannya.

Saat ini kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kondisi ekonomi jelas semakin hari semakin menekan kebanyakan masyarakat. Hal itu berdampak pada berbagai aspek kehidupan, mis: pendidikan, kesehatan, dsb. Ditengah kesulitan itu pemerintah tanpa empati menaikan pajak berkali-lipat, bahkan mengancam masyarakat jika tidak mau menuruti kebijakan negara. Keadaan diperburuk dengan sikap sebagian anggota DPR dan pejabat dalam pemerintahan ini, yang menunjukkan sikap arogan dan tidak peduli pada penderitaan rakyatnya. Rakyat sedang sekarat pejabat pamer kekayaan. Rakyat berkeringat menyambung hidup sedangkan pejabat berkeringat joget-joget karena tunjangannya naik. Laku sebagai pejabat jauh dari semangat noblesse oblige.

Sepertinya tidak ada lagi kepercayaan masyarakat terhadap para pejabat di negara ini. Kesepakatan atas norma-norma antara para pejabat dengan rakyat juga sudah tidak ada. Seakan pepatah inilah yang menjadi norma dikalangan para pejabat: Anjing menggonggong kafilah berlalu. Sebagai para wakil rakyat seharusnya mereka mendengarkan suara rakyat bukan mengabaikannya. Bagi rakyat sederhana saja: “Dengarkanlah kami.karena kamilah yang memilih anda”. Dengan semua kondisi yang ada sekarang maka sebenarnya -dalam pandangan Habermas-pemerintahan sekarang sudah tidak memiliki legitimasi dihadapan masyarakat. Itulah alasannya bahwa yang disasar adalah gedung Dewan Perwakilan Rakyat, suatu simbol yang seharusnya menenangkan rakyat karena merasa diwakili, kini malah membuat rakyat muak dan marah karena diabaikan bahkan dihina oleh mereka yang berkantor di gedung tersebut. Noblesse oblige, masih jauh dari harapan.

Markus Kurniawan