Mengukur Kesejahteraan Melalui Kapabilitas: Refleksi pada Kesetaraan Upah dan Akses Informasi
Oleh: Cicilia Damayanti
Dalam dunia yang terus berubah, kita sering kali terjebak pada ukuran-ukuran ekonomi yang sempit untuk menilai kesejahteraan, misalnya hanya melihat pendapatan atau tingkat konsumsi (Gross Domestic Product – GDP). Martha Craven Nussbaum (1947–), seorang filsuf dari Amerika, menawarkan cara pandang yang lebih mendalam melalui pendekatan kapabilitas. Dalam karyanya Creating Capabilities: The Human Development Approach (2011), Nussbaum menekankan bahwa kesejahteraan sejati tidak hanya diukur dari apa yang dimiliki seseorang, tetapi dari sejauh mana dia mampu bertindak, berkembang, dan berfungsi sepenuhnya sebagai manusia. Konsep ini menyoroti bahwa kehidupan yang bermartabat berarti memiliki ruang dan kesempatan untuk berkembang secara utuh – untuk hidup sehat, belajar, bekerja, menjalin relasi, merasakan kebahagiaan, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Nussbaum menyebut hal ini sebagai “kapabilitas” – yakni kebebasan nyata yang memungkinkan manusia menjalani hidup sesuai potensinya.
Lebih jauh, Nussbaum merinci 10 kategori pendekatan kapabilitas yang menjadi fondasi pendekatan ini. Pertama, Kehidupan yang panjang dan sehat, kemampuan untuk hidup hingga usia manusia yang wajar. Kedua, Kesehatan fisik dan gizi, akses terhadap layanan kesehatan dan nutrisi memadai. Ketiga, Independensi fisik dan integritas tubuh, kebebasan dari kekerasan dan kemampuan bergerak bebas. Keempat, Independensi indera, imajinasi, dan pemikiran, mencakup akses pendidikan, informasi, dan kebebasan berekspresi. Kelima, Emosi, kemampuan menjalin hubungan dan merawat orang lain. Keenam, Praktik rasional, kebebasan merencanakan hidup dan membuat keputusan. Ketujuh, Afeksi sosial, kemampuan berinteraksi dan berpartisipasi dalam komunitas. Kedelapan, Hidup sebagai manusia sosial, dihormati dan diperlakukan setara. Kesembilan, Hiburan, menikmati kegiatan budaya, dan rekreasi. Kesepuluh, Kontrol atas lingkungan, pengaruh terhadap lingkungan sosial dan material, termasuk pekerjaan dan ekonomi.
Dua peristiwa penting di bulan September 2025 – International Equal Pay Day pada 18 September dan International Day for Universal Access to Information pada 28 September – menyoroti tantangan besar dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan setara. Kedua momen ini menghubungkan langsung dengan beberapa kapabilitas yang seharusnya dinikmati oleh semua orang – khususnya di Indonesia. Seperti, aspek dari independensi indera, praktik rasional, serta hidup sebagai manusia sosial dan kontrol atas lingkungan. Di Indonesia, perempuan masih memperoleh pendatapan rata-rata 23% lebih rendah dibanding pria meski tingkat pendidikannya setara (asiapacific.unwomen.org). Sementara itu, akses informasi masih terbatas di kota-kota besar. Menurut survei APJII dan Kominfo, di wilayah pedesaan hanya 30,5% penduduk terkoneksi internet, dengan 13% desa belum memiliki akses memadai, dan sekitar 40% masyarakat pedesaan memiliki literasi digital rendah (APJII, 2024; Kominfo, 2024). Kesenjangan ini membatasi kapabilitas masyarakat untuk mengambil keputusan informasional, mengembangkan potensi, dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Melalui lensa Pendekatan Kapabilitas, saya diingatkan bahwa keadilan sejati bukan hanya soal kesetaraan materi atau distribusi informasi, bahwa isu-isu seperti kesetaraan upah atau akses informasi bukan sekadar persoalan ekonomi atau teknologi, tetapi menyentuh inti kapabilitas manusia untuk hidup sepenuhnya, tentang bagaimana setiap individu memiliki ruang untuk berkembang dan mengekspresikan diri sesuai potensinya. Ketika perempuan masih dibayar lebih rendah atau akses informasi tidak merata, itu bukan sekadar persoalan kebijakan, tetapi hambatan moral yang menghalangi kapabilitas setiap manusia untuk hidup sepenuhnya. Hari-hari peringatan ini, bagi saya, bukan sekadar tanggal di kalender, tetapi pengingat untuk merenungkan tanggung jawab kita sebagai manusia—bagaimana kita bisa merancang masyarakat di mana kapabilitas setiap orang dihargai, dipelihara, dan diberdayakan. Dalam konteks ini, pandangan Nussbaum mengajarkan bahwa hak untuk hidup dengan kapabilitas penuh adalah inti dari martabat manusia, dan setiap tindakan, sekecil apapun, yang memperkuat kapabilitas itu, adalah kontribusi nyata terhadap keadilan.