Kambing Hitam
Oleh: Markus Kurniawan
Pada tahun 1998, Jakarta dan di sejumlah kota besar di Indonesia, dilanda demonstrasi besar-besaran dan bergelombang, yang pada akhirnya meruntuhkan pemerintahan diktator Orde Baru yang sudah berlangsung 32 tahun. Peristiwa 27 tahun lalu masih sangat diingat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Para pelaku sejarah pun masih banyak yang hidup hingga saat ini. Dan tentunya juga para korban dan keluarganya. Luka Sejarah itu masih belum kering, kini Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia, kembali dilanda demontrasi besar yang menyerupai itu.
Demonstrasi saat ini pada awalnya, terjadi dalam skala yang masih dapat diterima. Namun kemarahan massa menjadi tidak terkendali ketika ada seorang pendemo yang dengan sengaja dilindas oleh kendaraan taktis milik aparat. Peristiwa tersebut terekam dengan sangat gamblang dan tersebar di berbagai media online, bahkan hingga dunia Internasional. Apakah dampaknya akan sama (tumbangnya pemerintahan), kita lihat saja nanti. Tapi ada hal yang perlu dikritisi, yaitu komentar-komentar baik dari para pejabat maupun presiden. Ada kesamaan dalam komentar mereka, yaitu tuduhan adanya keterlibatan pihak asing yang ingin memecah Indonesia. Sebuah lagu lama yang selalu dinyanyikan sebagai upaya cuci tangan.
René Girard (1923-2015), seorang filsuf serta kritikus sastra dari Prancis menulis konsep tentang mekanisme kambing hitam (sacapegoat mechanism). Dalam pandangan Girard ketika terjadi konflik masyarakat mencari jalan keluar dengan menyalurkan kekerasan kepada satu pihak tertentu: “kambing hitam.” Pihak ini sering kali dipilih bukan karena betul-betul bersalah, melainkan karena simbolis, lemah, atau berbeda, misalnya, kaum minoritas. Setelah korban dituding, masyarakat merasa lega. Kekacauan pun mereda (The Scapegoat ,1982).
Dalam demonstrasi yang disertai perusakan dan penjarahan yang saat ini terjadi, “pihak asing” dijadikan scapegoat-kambing hitam. Narasi ini memberi penjelasan sederhana, bahwa kerusuhan bukan karena kebijakan pemerintah yang menimbulkan ketidakpuasan, bukan juga karena sikap para pejabat yang tidak memiliki empati kepada rakyat, bahkan bukan juga karena adanya seorang pengemudi ojek online yang dengan sengaja dilindas sampai meninggal oleh mobil aparat, melainkan karena provokasi eksternal. Dengan demikian, negara terbebas dari kritik langsung dan dari tanggungjawab, sementara masyarakat diberi objek kebencian yaitu: “pihak asing”. Yang tentunya tidak dapat membela dirinya, karena juga tidak jelas “pihak asing” mana yang dimaksud. Narasi “pihak asing” berfungsi menutupi realitas bahwa rakyat turun ke jalan karena beban hidup yang kian berat, kepercayaan terhadap pejabat yang menurun, dan minimnya ruang partisipasi politik.
Dengan kata lain, tuduhan “pihak asing” hanyalah jalan pintas. Ia menyalurkan ketakutan, kegalauan dan kemarahan kolektif kepada sosok musuh imajiner, sehingga negara tampak bebas dari kesalahan. Padahal, akar kerusuhan jauh lebih nyata: rakyat tercekik harga bahan pokok, merasa kebijakan publik tidak berpihak, dan frustrasi dengan sistem hukum yang timpang. Apakah semua itu bisa begitu saja dijelaskan oleh “campur tangan asing”, “provokasi asing”? Rasanya terlalu mudah. Pengkambinghitaman (scapegoating) adalah ilusi yang berbahaya. Pertama, ia menutup refleksi kritis atas kegagalan kebijakan. Kedua, ia mendorong lahirnya diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang dengan mudah dituduh dekat dengan “pihak asing.” (inilah yang terjadi pada peristiwa Mei 1998). Ketiga, ia memperkuat siklus kekerasan. Massa yang beringas akan menghantam si kambing dengan kebencian berkobar tetapi masalah sesungguhnya tetap tak terselesaikan.
Apa yang sebaiknya dilakukan? Pertama, pemerintah perlu berhenti menjadikan “pihak asing” sebagai jawaban instan. Sekalipun mungkin saja benar ada keterlibatan pihak asing, namun persoalannya bukanlah terletak disitu. Motivasi para demonstran sudah jelas, yaitu mengkritik kebijakan-kebijakan yang menyusahkan rakyat serta mengkritik perilaku para pejabat yang tidak berempati atas penderitaan rakyat. Retorika adanya keterlibatan asing tidak membantu mengatasi persoalan justru dapat menghancurkan kepercayaan rakyat kepada penyelenggara negara. Kedua, krisis harus dihadapi dengan membuka ruang dialog. Rakyat tidak butuh dalih, mereka butuh didengar. Rakyat juga menunggu sikap partai-partai politik yang menempatkan para anggotanya yang bermasalah. Apakah disanksi atau malah dilindungi? Ketiga, keadilan struktural harus dibenahi. Selama harga melambung, hukum bisa diperjualbelikan, pemberantasan korupsi masih setengah hati, dan tindakan-tindakan tidak adil lainnya tetap dilakukan, maka kerusuhan akan terus berulang.
Suara publik juga punya peran penting. Masyarakat harus kritis dan berani menolak narasi scapegoat, sekaligus mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab pada akar persoalan. Hanya dengan begitu energi bangsa bisa diarahkan ke solusi, bukan habis untuk mengutuk musuh imajiner. Girard juga menulis bahwa mekanisme kambing hitam adalah penipuan sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi (Things Hidden Since the Foundation of the World ,1987). Indonesia tidak boleh melestarikan penipuan itu. Krisis hanya bisa diatasi dengan keberanian menghadapi kenyataan, bukan dengan menyalahkan bayangan. Jika tidak, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran tuduhan yang tak berkesudahan. Seakan kita sedang memukul bayangan sendiri. Cukuplah kerusuhan Mei 1998, yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai kambing hitam. Indonesia harus berani menjadi dewasa, dengan tidak kembali mencari kambing hitam.