Cerita Kereta: Miniatur Kehidupan

Oleh: Agung Setiawan, S. Hum., M. Hum

Kehidupan secara umum memang tidak bisa disederhanakan hanya melalui satu realita yang kita lalui, namun setiap perjalanan kehidupan pasti sampai pada satu tujuan. Refleksi perjalanan tersebut salah satunya bisa kita ambil hikmah nya melalui aktivitas yang ada di stasiun maupun di dalam gerbong kereta. Siklus perjalanan cerita kehidupan yang sering bersinggungan dengan kita baik secara langsung maupun tidak. Hidup merupakan sebuah perjalanan satu arah menuju kematian, bergerak maju sesuai jadwal yang telah digariskan. Tidak ada kata terlambat dalam hidup, karena cerita kita dimulai semenjak kita mengakses kehidupan ini. Kadang semua angan dan impian terwujud dan langsung datang, kadang pula kita menunggu, mungkin cukup lama menunggu hingga akhirnya bertemu. Tapi tak satupun kata menyerah, meski berebutan kita tetap yakin sampai pada tujuan.

Saat di Stasiun, petugas kereta selalu menginformasikan jadwal keberangkatan bahkan hingga dua stasiun sebelum kereta tiba. Begitu pun kita melalui para nabi dan rasul, kitab-kitab suci, adzan, panggilan ibadah lainnya, nasihat serta ceramah. Kita selalu diingatkan jangan sampai lupa walaupun meminta penundaan atau minta percepatan, jadwal sudah ditetapkan. Setiap kejadian sudah diinformasikan kedatangannya, hingga bencana yang sehari-hari kita temui, agar kita bisa memanfaatkan waktu memperbaiki diri dan berbuat baik sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, kita perhatikan petugas keamanan ataupun petugas-petugas lainnya disaat mereka menjalankan tugas. Di sela-sela pekerjaan nya, mereka selalu meminta sesama rekan kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan mereka untuk bisa dilaporkan. Begitupun kita berhubungan dengan manusia, harus selalu melalui bukti dan pelaporan walaupun terlihat seperti rekayasa agar sesama kita merasa yakin. Lalu bagaimana hubungan kita dengan Yang Maha Melihat dan Maha Mengawasi? Dokumentasi dan pelaporan apapun tidak bisa direkayasa atau dimanipulasi. Apa yang kita perbuat walaupun bersembunyi sekalipun atau apa yang ada di dalam hati kecil sedikitpun sangat terang dan jelas bagi Sang Pemilik Hati.

Berada dalam kereta merepresentasikan kehidupan di dunia ini, kadang kita tergencet, terdesak, terpojok, terhimpit, terinjak, tersikut, terpukul, terdorong atau kadang bisa duduk lega dan tenang bahkan tiduran. Setiap posisi hidup ada waktu-waktunya, disaat kita sedang berada dalam waktu tersebut sudah sewajarnya menerima berlapang dada. Setiap paksaan untuk naik dan dorongan untuk masuk adalah semangat hidup yang memompa adrenalin. Marah, menggerutu hingga membentak bukan lah solusi yang pas disaat seperti ini, selain daripada menghabiskan banyak energi toh perjalanan berlalu sangat singkat tak terasa. Tidak menerima posisi dengan mengambil hak gerak manusia

lain juga bukan respon yang tepat, ketika hakikatnya kita hidup harus koeksistensi dengan lainya sehingga kita harus selaraskan gerak dengan tubuh-tubuh manusia lainnya. Agar tidak membentur dan terjatuh dan menabrak tubuh-tubuh yang berdesakan, kita pun harus mengalir mengikuti laju kereta, menyelaraskan kecepatan kereta memahami bahwa kita, mereka dan kereta ini punya satu napas, satu ruh, satu jiwa. Kesempitan yang sedang kita rasakan ini akan terus mengejar kita jika hati kita juga sempit. Keluar kesempitan di dalam kereta masuk ke dalam kesempitan macet di jalanan, masuk lagi ke dalam kesempitan hiruk pikuk polusi, masuk lagi dalam kesempitan ekologis bumi yang mulai mendesak dengan bencana alamnya, dan seterusnya. Jika kita mulai dari hati yang lapang, kita meyakini bahwa kesempitan hanyalah sisi mata uang yang lain yang dibaliknya adalah kemudahan. Sehingga yang tersisa dari kesempitan tersebut hanyalah rasa syukur karena telah bersabar dan selamat sampai tujuan.

Agung Setiawan, S. Hum., M. Hum