Tempe: Antara Selera dan Perlawanan

Oleh: Markus Kurniawan

Mayoritas masyarakat Indonesia akrab dengan Tempe. Tempe dikenal sebagai makanan yang murah, bergizi dan merakyat. Tempe melintasi generasi dan kelas-kelas sosial. Ia hadir dari warung-warung makan yang selalu dipadati oleh berbagai kalangan hingga hotel-hotel mewah yang hanya dapat dinikmati oleh kelangan-kelangan tertentu saja. Yang jelas tempe menghadirkan menu makanan yang menggugah selera. Itu pula yang membuat tempe kerap menjadi hidangan baik dalam masyarakat dengan status lemah ekonomi hingga yang berstatus sultan dan taipan.

Bukti keberadaan tempe sebagai bagian dari makanan rakyat sudah tercatat dalam naskah kuno Serat Centhini—sebuah karya sastra Jawa yang disusun pada awal abad ke-19 berisi antara lain mengenai aktifitas keseharian masyarakat pada abad 16, termasuk makanannya. Di dalam naskah tersebut tempe disebut sebagai bagian dari makanan sehari-hari masyarakat biasa, yang menunjukkan bahwa sejak dulu tempe telah menjadi simbol kebersahajaan, tradisi lokal, dan keterjangkauan pangan dalam masyarakat. Tulisan tersebut juga menarasikan cara hidup, nilai-nilai, dan kebiasaan makan masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya mengonsumsi tempe sebagai hal yang lumrah dan diterima secara luas dalam budaya agraris Nusantara, khususnya di daerah Jawa. Perlu diberi catatan bahwa tempe, kala itu sangat mungkin bukan berbahan utama kedelai. Kedelai bukan tanaman asli Indonesia. Kemungkinan besar tempe kala itu dibuat dari bahan kacang-kacangan yang memang banyak ditemui tumbuh liar di pulau Jawa.

Generasi Z hidup sekitar 5 abad dari kisah yang ditulis dalam naskah Centhini itu. Saat ini era yang disebut sebagai era postmodern, era yang sudah melewati jaman modern. Salah satu yang hadir pada era ini adalah globalisasi. Generasi Z dapat dianggap sebagai anak kandung dari globalisasi, mereka hidup dalam atmosfir globalisasi, Di tengah tren kuliner global dan gaya hidup digital khususnya pada generasi Z, tempe sering terpinggirkan dari narasi makanan bergengsi. Oleh sebagian generasi muda saat ini, ia dianggap murahan dan bukan pilihan yang menarik, terutama dalam generasi muda perkotaan. Ada hal yang miris, kosa kata tempe kerap dipakai untuk menunjukkan hal yang negatif, mis: bermental tempe, berwajah tempe. Seakan sudah jatuh tertimpa tangga, itulah nasib tempe.

Tempe dapat dilihat bukan sekedar makanan namun juga sebagai simbol status sosial. Roland Barthes (1915-1980) dan Pierre Bourdieu (1930-2002), melihat bahwa makanan bukanlah sekadar soal rasa atau gizi, melainkan juga medan pertarungan makna, simbol, dan kelas sosial. Dalam esainya Toward a Psychosociology of Contemporary Food Consumption (1961), Roland Barthes menegaskan bahwa makanan bukan sekedar berfungsi secara biologis atau sumber nutrisi bagi tubuh, ia adalah “sebuah sistem komunikasi, kumpulan citra, dan protokol penggunaan.” Dengan kata lain, makanan berfungsi sebagai tanda yang menyampaikan nilai-nilai sosial dan identitas budaya. Makanan berbicara kepada kita dan tentang kita, bukan hanya melalui rasanya, tetapi melalui simbolisme, kebiasaan, dan konteks sosial di mana ia dikonsumsi. Tempe, misalnya, secara denotatif (makna literal atau harfiah dari suatu tanda — apa yang secara langsung terlihat atau terdengar, tanpa tambahan nilai budaya atau emosional). adalah produk fermentasi kedelai yang kaya protein. Namun secara konotatif (Ini adalah makna yang muncul dari asosiasi, nilai budaya, ideologi, atau emosi yang melekat pada tanda, mis: tempe), tempe menjadi tanda dari kesederhanaan, keindonesiaan, dan identitas rakyat kecil. Makna konotasi melibatkan interpretasi sosial dan kultural, dan sangat tergantung pada konteks dan pengalaman penerima tanda.

Masalah muncul ketika tanda ini mengalami pergeseran makna dalam lanskap konsumsi kontemporer. Dalam budaya urban dan media sosial yang menekankan estetika, gaya hidup premium, dan “kuliner Instagramable”, tempe cenderung kehilangan daya tarik simboliknya (makna konotatif). Generasi Z, yang sangat terhubung dengan tren digital dan globalisasi makanan, lebih terdorong memilih makanan dengan nilai gaya hidup yang lebih tinggi (baca: keren), seperti Korean food, sushi, atau makanan berbahan keju dan daging impor. Keindonesiaan, kerakyatan dan kesederhanaan tergeser posisinya dihadapan generasi Z.

Yang sedang terjadi sebenarnya fenomena global. Sebuah studi dari Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 70% responden Gen Z di Asia Tenggara lebih tertarik pada makanan yang trendy dan global, sementara hanya sekitar 18% yang mengidentifikasi makanan tradisional lokal sebagai bagian penting dari identitas konsumsi mereka. Temuan ini menguatkan bahwa selera makan generasi Z bukanlah pilihan netral, melainkan hasil dari paparan budaya global dan kapitalisme yang divisualisasi lewat media sosial.

Pemikiran Pierre Bourdieu (1930-2002) dalam Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste (1984), memberikan pandangan menarik, baginya, “Taste classifies, and it classifies the classifier.” (1984; h 6). Bagi Bourdieu, selera bukan hanya alat untuk membedakan objek, tetapi juga membentuk identitas sosial dari orang yang memiliki selera itu. Ketika generasi Z menghindari tempe dan memilih makanan bergaya internasional, mereka tidak sekadar “memilih” rasa, mereka sedang menunjukkan posisi sosial dan kultural mereka, sekaligus menciptakan jarak dari apa yang mereka anggap sebagai “rendahan”, “kuno”, “selera orang tua”, dst.

Barthes dan Bourdieu sepakat bahwa makanan tidak netral. Tempe bukan sekadar protein nabati murah dan sehat, melainkan representasi kelas sosial, konstruksi budaya, dan bahkan ideologi nasionalisme di bidang pangan. Yang terjadi pada tempe, juga terjadi pada makanan-makanan tradisional Indonesia pada umumnya. Generasi Z menilai lebih modern makan salad dibanding dengan karedok atau pecel. Sarapan pisang rebus dipandang lebih inferior ketimbang pancake.

Penolakan terhadap tempe (juga makanan tradisional Indonesia lainnya) bisa dibaca sebagai bentuk ketegangan antara tradisi dan modernitas, antara “selera rakyat kecil” dan “selera kelas menengah urban”. Lantas apa upaya kita? saat tempe mulai direkonstruksi sebagai makanan sehat, organik, dan berkelas oleh restoran vegan atau gerakan pangan lokal, kita melihat bagaimana makna makanan bisa direbut kembali dan didefinisikan ulang. Istilah yang mungkin tepat adalah, branding. Tempe yang secara konotatif lekat dengan makanan kelas bawah, kampungan, kuno dsb di re-branding agar dapat diterima dalam dunia generasi Z. Mengajak generasi Z untuk mencintai tempe bukan berarti memaksakan nostalgia masa lalu dan menolak modernitas, tetapi menawarkan pemahaman kritis bahwa selera (termasuk juga dalam makanan) adalah hasil konstruksi sosial. Mengonsumsi tempe bisa menjadi simbol perlawanan terhadap konsumerisme global, sekaligus penanda identitas lokal yang tidak kalah bergengsi dari yang modern. Selamat menikmati tempe.

Markus Kurniawan