Silahkan Memilih

Oleh: Markus Kurniawan

Posisi perempuan di Indonesia banyak ditentukan baik oleh agama maupun adat. Tugas-tugas domestik, seperti mencuci, memasak,mengasuh anak, mengatur rumahtangga, dsb seakan sudah melekat saat seorang bayi perempuan dilahirkan. Domestifikasi seperti itu dapat dikritisi. Pertanyaan yang kadang luput dilontarkan adalah, bagaimana perempuan sendiri memandang posisi mereka? Apakah tugas-tugas domestik itu merupakan kebanggaan atau sebaliknya, sesuatu yang dianggap menghalangi eksistensi?

Simone de Beauvoir (1908-1986) dalam bukunya The Second Sex (1949) menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan “menjadi” perempuan melalui konstruksi sosial yang membatasi kebebasan dan identitas mereka. Menurut Beauvoir, masyarakat patriarkal secara sistematis memosisikan laki-laki sebagai subjek utama, sedangkan perempuan menjadi “yang lain” atau objek yang yang menjadi subordinat. Perempuan dibentuk oleh norma dan tradisi yang mengharuskan mereka menjalankan peran sebagai istri, ibu, dan makhluk yang bergantung pada laki-laki, sehingga kebebasan eksistensial mereka terbatasi. Konteknya masyarakat Prancis pasca Perang Dunia II.

Gagasan Beauvoir ini sejajar dengan kritik sosial yang dikemukakan oleh Kartini pada awal abad ke-20 melalui surat-suratnya. Kartini, yang hidup dalam konteks kolonialisme Belanda dan budaya Jawa yang patriarkal, secara tajam mengkritik ketidakadilan dan pembatasan peran perempuan. Dalam surat-suratnya, Kartini menggambarkan bagaimana perempuan Jawa dipaksa untuk tunduk pada norma sosial yang mengekang, seperti larangan pendidikan bagi perempuan dan pembatasan dalam urusan rumah tangga. Ia menegaskan bahwa perempuan harus memperoleh pendidikan dan kebebasan agar dapat berkembang sebagai individu yang mandiri.

Keduanya berbeda konteks, tapi keduanya mengungkap bahwa gender adalah hasil konstruksi sosial, bukan semata fakta biologis. Kartini secara praktis menantang struktur sosial dan budaya yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, sama seperti Beauvoir secara teoritis memaparkan mekanisme penindasan gender. Keduanya mengajak perempuan untuk keluar dari “kotak” peran tradisional dan merebut kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam pandangan keduanya perempuan adalah makhluk yang dipenjara oleh masyarakat feodalis.

Kritik Kartini melalui surat-suratnya tidak hanya berpengaruh di Indonesia, tetapi juga menjadi salah satu fondasi gerakan feminis di Nusantara. Begitu pula, teori Beauvoir menjadi acuan penting dalam wacana feminisme global. Kedua tokoh ini menunjukkan bahwa kebebasan perempuan menuntut perubahan sosial yang mendasar, yaitu pembongkaran konstruksi patriarki dan pengakuan terhadap eksistensi perempuan sebagai subjek yang berdaulat (Elizabeth R. Hallinan, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction ,2010).

Menjalankan tugas-tugas domestik bagi seorang perempuan tidaklah menghalangi kebebasan eksistensinya. Dalam konteks Indonesia, perempuan yang menjalankan tugas-tugas domestik itu justru dianggap sebagai perempuan yang hebat. Adanya konstruksi patriakhi tidak serta merta menjadi penghalang bagi kebebasan perempuan sebagai subjek yang berdaulat. Sekalipun sistem patriarki memosisikan pekerjaan domestik sebagai kegiatan yang non-produktif (tidak membebankan perempuan dengan kompensasi ekonomi) bukan berarti peran domestik melemahkan eksistensi perempuan.

Peran domestik justru bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi tanggung jawab moral dan sosial (kebanyakan perempuan bangga dengan ini). Selama ada pilihan dan penghargaan setara dengan laki-laki, tugas domestik bisa menjadi landasan bagi kebebasan seorang perempuan. Kebebasan terjadi ketika kesempatan untuk menegaskan identitas terbuka lebar. Di Indonesia banyak perempuan yang terlibat dalam tugas-tugas lain sambil mengerjakan tugas-tugas domestiknya. Misalnya di keluarga nelayan atau petani, perempuan tidak hanya mengurus rumah, tapi juga turut menentukan pengelolaan hasil hingga menambah nilai produk, di keluarga pedagang perempuan bisa berdagang sambil mengurus keluarganya. Di masyarakat urban banyak perempuan yang melakukan tugas domestik sambil tetap produktif bekerja atau membuka usaha tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa domestik dan produktif bukan lawan. Kedua peran bisa menyatu dalam membangun kemandirian ekonomi keluarga dan masyarakat. Perempuan tidak harus bergantung pada laki-laki bahkan dapat menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Kebebasan perempuan di Indonesia bukan dengan menghapus peran domestik, itu merupakan pilihan bukan kewajiban. Akses perempuan ke bidang-bidang lainnya terbuka lebar, misalnya politik, ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan. Singkatnya, sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki keleluasaan untuk memilih, menegosiasikan perannya, dan dihargai atas apa pun pilihannya. Pengakuan terhadap eksistensi perempuan sebagai subjek yang berdaulat telah terjadi. Pembongkaran konstruksi patriakhi mungkin terlalu vulgar. Ada cara lain untuk melihatnya, bukan dengan “ini atau itu” (either/or) melainkan “baik ini maupun itu”(both..and). Salam kagum kepada perempuan Indonesia.

Markus Kurniawan