Pemimpin Keblinger

Oleh: Markus Kurniawan

Beberapa minggu terakhir, kita disuguhkan dengan berita sikap arogan seorang bupati di Pati. Ceritanya masih berlanjut hingga kini karena menyentuh titik sensitif. Bagaimana tidak, rakyat sedang kesulitan, ekonomi lagi melambat, harga-harga merangkak naik, namun kebijakan menaikkan pajak tetap dijalankan, seolah tidak ada ruang empati. Diperparah dengan minimnya sosialisasi. Hal yang hampir mirip sebenarnya terjadi di beberapa daerah, termasuk Jakarta. Sebagai penduduk Jakarta, saya mengalami kenaikan tagihan yang tinggi untuk Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2025, sekalipun tidak setinggi Pati.

Yang membuat marah masyarakat bukan hanya kebijakan itu, tetapi isi dan nada bicara sang pejabat yang dinilai mengabaikan bahkan meremehkan keluhan warga. Masalah pajak hanyalah faktor pencetus, tapi faktor penyebabnya adalah arogansi si pejabat. Peristiwa ini membuka kembali pertanyaan lama: bagaimana seharusnya sebuah kebijakan publik dibuat dan dijalankan? Bagaimana juga komunikasi politik yang elegan itu? Jawabannya bisa kita telusuri dari dua arah: nilai dasar bangsa, yakni Pancasila, dan teori politik modern yang ditawarkan para filsuf seperti Jürgen Habermas (1929- …) dan John Rawls (1921-2002).

Sila ke-5 Pancasila berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dalam konteks arogansi pejabat di Pati maknanya sederhana, yaitu kebijakan negara harus memastikan setiap warga memperoleh perlakuan adil, termasuk dalam hal perpajakan. Namun, adil bukan berarti semua dibebani sama rata. Dalam kenyataan, beban pajak yang sama nilainya bisa terasa jauh lebih berat bagi pedagang kecil dibanding bagi pengusaha besar. Bagi kaum gali lubang tutup lubang, pajak hanya memperbesar dan memperdalam lubang yang tidak bisa ditutup. Jika kebijakan pajak tidak mempertimbangkan perbedaan kemampuan ekonomi masyarakat, maka itu bukan lagi keadilan, melainkan pemaksaan yang dibungkus hukum dan peraturan.

Bagi Habermas, legitimasi lahir dari dialog. Jürgen Habermas dalam Between Facts and Norms (1996; h 107) menegaskan: “Only those norms may claim to be valid that meet (or could meet) with the approval of all affected in their capacity as participants in a practical discourse.”. Artinya, sebuah aturan atau kebijakan hanya sah secara moral jika mendapat persetujuan mereka yang terkena dampaknya, melalui proses dialog yang bebas dan setara. Itu merupakan bagian dari komunikasi politik yang elegan. Dalam konteks Pati, jika pajak ditetapkan tanpa melibatkan suara rakyat kecil — apalagi disampaikan dengan nada arogan — maka legitimasi moralnya runtuh, meskipun secara hukum sah. Politik tanpa partisipasi publik yang sejati hanyalah administrasi kekuasaan, bukan pemerintahan demokratis seperti yang dituntut dalam sila-sila Pancasila.

Menurut Rawls kebijakan publik seharusnya menguntungkan pihak yang paling lemah. John Rawls, dalam A Theory of Justice (1971), mengajukan difference principle. Dengan prinsip ini, beban ekonomi (dalam kasus Pati adalah pajak) hanya bisa dibenarkan jika memberi manfaat terbesar bagi kelompok yang paling lemah. Dalam kacamata Rawls, jika pajak justru memperburuk keadaan pedagang kecil, buruh, atau petani, maka kebijakan itu gagal memenuhi prinsip keadilan. Jika Habermas menitikberatkan proses (dialog), Rawls menitikberatkan hasil (keadilan bagi yang lemah). Dua-duanya, jika diabaikan, akan memunculkan krisis legitimasi dan ketidakpercayaan masyarakat.

Sejak zaman Aristoteles, politik dipahami sebagai sarana untuk mencapai eudaimonia — kehidupan yang baik bagi semua warga. Tetapi dalam praktiknya, kekuasaan sering bergeser menjadi arena mempertahankan posisi, bukan memenuhi tujuan moral negara. Arogansi seorang pejabat merupakan gejala dari penyakit politik yang lebih besar yaitu jarak psikologis antara penguasa dan rakyat. Ketika telinga dan hati penguasa lebih akrab dengan suara elite politik, yang kebanyakan juga konco-konco dhewe daripada keluhan wong cilik, maka kebijakan yang lahir pun rawan kehilangan rasa keadilan.

Baik Habermas maupun Rawls, keduanya memberikan pada kita alat ukur untuk melihat kebenaran dalam komunikasi politik dan kebijakan publik Jika kedua alat ini menunjukkan nilai buruk, kita berhak menyebutnya kegagalan politik. Kasus Pati contohnya. Kasus ini bukan hanya teguran bagi satu kepala daerah saja, tetapi alarm peringatan untuk semua pejabat publik. Dalam negara demokratis, rakyat tidak hanya menuntut pajak yang masuk akal, tetapi juga penghormatan atas martabat mereka sebagai warga negara. Rakyat bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek yang ikut menentukan arah kebijakan itu. Jika pejabat gagal memahami ini, maka ia bukan hanya melanggar etika politik, tetapi juga mengikis dasar kepercayaan yang menopang demokrasi.

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bukanlah wallpaper yang melekat di dinding kantor pemerintahan untuk mempercantik penampilan. Ia adalah prinsip hidup yang menuntut penguasa untuk mendengar, menghargai, dan melindungi warganya. Pajak memang penting untuk membiayai penyelenggaraan negara, tetapi cara menetapkannya dan cara menyampaikannya jauh lebih menentukan apakah kebijakan itu diterima atau ditolak rakyat. Negara yang adil bukan hanya yang menegakkan hukum, tetapi yang membangun rasa percaya antara rakyat dan pemimpinnya. Dan rasa percaya itu hanya lahir dari kebijakan yang adil dan pemimpin yang memiliki kerendahan uihati. Ojo keblinger yo.

Markus Kurniawan