Menjadi Warga Negara Tangguh Melalui Passion, Integrity, dan Skill

Oleh: Petrus Hepi Witono

Pendidikan karakter kewarganegaraan tidak hanya bertujuan mencetak warga negara yang patuh hukum dan taat pajak. Lebih dari itu, ia membentuk individu yang mampu bersikap dewasa dalam menghadapi tantangan sosial-politik, memiliki kepedulian terhadap sesama, serta aktif berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, pemikiran Tum Desem Waringin tentang tiga nilai penting—passion, integrity, dan skill—menjadi sangat relevan dan strategis.

Pertama, passion atau gairah. Dalam pendidikan kewarganegaraan, gairah berarti semangat untuk memahami isu-isu kebangsaan dan menjadi bagian dari solusi. Tanpa gairah, seseorang hanya akan menjadi penonton dalam dinamika sosial. Sebagaimana Simon Sinek menulis dalam buku Start with Why, “Working hard for something we don’t care about is called stress; working hard for something we love is called passion.” Sebagai contoh, seorang mahasiswa jurusan pendidikan memiliki passion dalam bidang mengajar. Ia secara aktif menjadi relawan mengajar anak-anak di daerah marginal, tidak hanya karena tugas kuliah, tetapi karena ia benar-benar menyukai dunia pendidikan dan ingin membuat perubahan.

“Working hard for something we don’t care about is called stress; working hard for something we love is called passion.” – Simon Sinek, Start with Why

Kedua, integrity atau integritas. Nilai ini menjadi fondasi utama dalam membentuk karakter warga negara yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara, integritas menjadi mata uang moral yang langka sekaligus mahal. C.S. Lewis mengingatkan kita, “Integrity is doing the right thing, even when no one is watching.” Dalam pendidikan kewarganegaraan, integritas harus menjadi napas yang menyatu dalam setiap proses pembelajaran dan keteladanan guru. Sebagai contoh, saat mengerjakan skripsi atau tugas kelompok, mahasiswa ini menolak menjiplak atau membeli jasa joki. Ia lebih memilih mengerjakan sendiri meskipun hasilnya tidak sempurna.

“Integrity is doing the right thing, even when no one is watching.”  – C.S. Lewis

Ketiga, skill atau keterampilan. Di era digital dan globalisasi, keterampilan kritis, komunikasi, dan kolaborasi bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi menjadi syarat mutlak bagi warga negara abad 21. John C. Maxwell dalam bukunya Talent is Never Enough menegaskan, “Talent is a gift, but character and skill are choices.” Artinya, setiap orang bisa menjadi warga negara yang efektif asal bersedia terus mengasah keterampilannya. Sebagai contoh, seorang manajer proyek terus meningkatkan keterampilannya dalam manajemen waktu dan penggunaan tools seperti Trello, Notion, atau Microsoft Project agar timnya lebih produktif.

“Talent is a gift, but character and skill are choices.” – John C. Maxwell, Talent is Never Enough

Dengan mengintegrasikan passion, integrity, dan skill praktik pembelajaran kewarganegaraan, maka kita sedang menyiapkan generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan tangguh dalam bertindak. Karakter yang kuat, dikombinasikan dengan kompetensi yang relevan, adalah fondasi utama bagi keberlanjutan demokrasi dan keutuhan bangsa.

Petrus Hepi Witono