La Pulga dan Stoikisme
Oleh: Markus Kurniawan
Dalam kancah sepak bola dunia, siapa yang tidak mengenal Lionel Messi? Pria bertubuh mungil berusia 38 tahun ini memiliki prestasi yang tidak ada bandingnya dalam dunia sepak bola. Ia mencetak lebih dari 870 gol sepanjang karier, dengan 474 gol di La Liga (terbanyak dalam sejarah La Liga) dan 112 gol untuk timnas Argentina dari 193 pertandingan. Di Barcelona saja, Messi mencetak 672 gol dalam 520 pertandingan (resmi), memimpin kesebelasannya meraih 10 gelar La Liga, 7 Copa del Rey, dan 4 Liga Champions, termasuk dua treble, prestasi yang belum pernah dicapai siapa pun hingga saat ini. Prestasi individu pun luar biasa: 8 Ballon d’Or, 6 Sepatu Emas Eropa, rekor assist terbanyak resmi (388), dan slogan “paling banyak trofi tim” dalam sejarah sepak bola (45 trofi). Puncak prestasinya adalah ketika membawa Argentina menjuarai Copa América (2021, 2024) dan Piala Dunia 2022—dengan penghargaan Golden Ball serta peran penting sepanjang turnamen . Ia juga memimpin dalam gol dan assist sepanjang sejarah Piala Dunia dan Copa América. Silahkan memverifikasi data diatas.
Para komentator dan pelatih kaliber dunia memberikan banyak julukan kepadanya karena aksi-aksinya mengolah bola dilapangan. Peter Drury (komentator Inggris, ITV & SuperSport) menjulukinya sebagai makhluk angkasa luar yang tidak berasal dari bumi ini. Martin Tyler (Sky Sports, Inggris) menjulukinya sebagai pesulap dari Rosario (“The magician from Rosario.”). Tyler bahkan berkomentar: “Begitu Messi mendapat bola, yang bisa kau lakukan hanyalah berdoa”. Pep Guardiola dan Luis Enrique tanpa ragu memujinya sebagai pemain terbaik yang pernah ada.Yang saya kutipkan hanyalah sebagian kecil saja dari komentar-komentar yang bernada menyanjung dan kagum dengan sosok Messi. Media-media memberi beragam julukan padanya antara lain “La Pulga” (julukan dari media lokal Argentina artinya “si kutu”, karena tubuh Messi yang tergolong kecil bagi pesepakbola), “El Mesías” ,“GOAT”.
Kalau kita melihat semua paparan diatas, Messi sudah cukup untuk disebut legenda terbesar sepak bola. Tapi yang menarik justru bukan hanya itu, melainkan cara ia mencapai semua itu, yaitu dengan kerendahan hati, dengan pilihan untuk berbagi bola, dengan menjadikan tim sebagai pusat permainan. Itulah yang membuatnya berbeda dengan banyak pesepakbola hebat lain: ia bukan tipe pemain yang gila rekor gol. Tentu, jumlah golnya menakjubkan, tapi yang sering membuat orang kagum justru kesediaannya untuk mengoper bola pada rekan yang lebih punya peluang. Bagi Messi, kemenangan tim jauh lebih penting ketimbang ambisi pribadi. Sikap inilah yang, menurut saya, bisa dibaca bukan sekadar gaya bermain, melainkan sebuah virtue—kebajikan dalam arti klasik.
Ribuan tahun lalu, salah seorang tokoh aliran filsafat Stoa bernama Cicero (106-43 SM) menulis sebuah kalimat yang indah: “Gloria virtutem tamquam umbra sequitur.” “Kemuliaan mengikuti kebajikan seperti bayangan.” (Tusculan Disputations, Buku I, bab 45). Kalimat ini pada dasarnya mengingatkan kita agar tidak mengejar ketenaran/kemuliaan. Bagi penganut aliran Stoa, reputasi, kemuliaan ataupun keberuntungan bukan tujuan, tetapi konsekuensi yang datang secara alamiah sebagai akibat dari hidup yang memiliki kebajikan (virtue). Yang harus dicari adalah kebajikan. Kalau kebajikan itu dijalani maka kemuliaan akan datang dengan sendirinya, persis seperti bayangan yang selalu menempel pada tubuh.
Dalam Stoikisme, kebajikan (virtue) adalah satu-satunya kebaikan sejati. Kekayaan, kesehatan, kemuliaan bahkan kemenangan sekalipun hanyalah hal-hal “indiferent”- bisa ada, bisa tidak. Yang penting adalah bagaimana seseorang bertindak: adil, bijak, berani, dan mampu menguasai diri. Mengapa? Karena nasib (fortuna) adalah hal yang berada diluar kendali manusia, misalnya apakah kita akan menjadi kaya, akan mendapat kemuliaan, dsb. Sedangkan virtue (berperilaku adil, menjadi bijaksana, penguasaan diri, kerendahanhati, keberanian) merupakan hal yang bisa dikendalikan. Itu meupakan pilihan. Orang bisa memilih untuk memiliki virtue atau tidak. Nah, Stoikisme mengajarkan untuk tidak usah risau dengan yang tidak dapat kita kendalikan, tapi fokus pada yang dapat dikendalikan.
Messi adalah contoh hidup dari pepatah ini. Ia tidak sibuk berburu sorotan kamera, tidak terlalu peduli apakah namanya berada di puncak daftar pencetak gol sepanjang masa. Tapi justru karena itu, kemuliaan malah datang mengejarnya. Dengan sikap yang tidak mengejar rekor, ia malah meraih hampir semua rekor yang sangat di damba oleh para pemain sepak bola sejagat. Messi seolah menjalankan prinsip ini di lapangan. Ia tidak sibuk mengatur nasib baik atau buruk (fortuna) karena itu bukan hal yang bisa dikendalikan. Apakah ia dapat menjadi pencetak gol terbanyak, apakah ia akan menjadi yang terbesar, apakah ia akan menjadi yang paling dipuji, tampaknya hal-hal semacam itu tidak ada dalam kehendaknya. Dalam perspektif kaum Stoa itu adalah hal yang indifferent- bisa ada, bisa tidak. Itu bagian yang tidak dapat dikendalikan. Yang bisa dikendalikan adalah pilihan: kapan menembak, kapan mengoper, bagaimana mendukung rekan satu tim. Itulah kebajikan yang ia jalani. Dan, sesuai dengan pepatah Cicero, kemuliaan pun mengikuti langkahnya.
Di zaman ketika olahraga sering dipenuhi ego, pencitraan media sosial, dan obsesi rekor, Messi mengingatkan kita bahwa kerendahan hati bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Tubuhnya memang kecil, itu sebabnya dijuluki La Pulga, si kutu tapi kebajikannya menggetarkan bahkan diluar lapangan. Ia tidak berteriak-teriak di lapangan, tidak menuntut kamera menyorotnya setiap saat. Tapi justru dengan gaya itu ia menjadi ikon global. Saya rasa ini yang membuat banyak orang sulit membencinya—bahkan rival pun sering mengakui kehebatannya. Ia bermain untuk tim, dan dunia memberinya kemuliaan. Messi memberi kita pelajaran filosofis lewat sepak bola. Hidup bukan soal mengejar angka atau prestise, bukan soal menjadi kaya, terkenal, memiliki asset, termasuk memiliki jabatan, tapi soal bagaimana kita bertindak: adil, rendah hati, dan selalu mengutamakan kebaikan bersama. Gol, piala, dan kemasyhuran hanyalah bonus. Persis seperti kata Cicero: kemuliaan tidak perlu dikejar, ia akan datang sebagai bayangan dari kebajikan. Gracias, Messi! Gracias, La Pulga