Enak – Baik – Sempurna
Oleh: Arcadius Benawa
Tolok ukur seseorang dalam berbuat sesuatu itu rupanya ada beberapa gradasinya. Orang kebanyakan masih tolok ukurnya adalah keenakan. Kalau seseorang tolok ukurnya “enak” maka hal-hal yang tidak mengenakkan akan ia hindari. Fase ini dapat kita jumpai dengan mudah pada diri anak. Seorang anak tidak akan mudah meminum obat meskipun obat itu baik dan berguna untuk kesembuhannya dari sakit demam atau flu yang sedang ia alami. Alasan anak tidak mau minum obar sederhana, yaitu obat itu tidak enak. Itu sebabnya pihak farmasi mencoba mengemas obat yang enak rasanya agar anak mau mengonsumsi obat tersebut sehingga anak dapat sembuh dari sakit yang ia alami. Namun tidak mustahil bahwa tolok ukur mencari enak itu juga dialami oleh orang dewasa. Maka dicarilah siasat agar bagaimana ia dapat mengatasi rasa tidak enak itu. Muncul misalnya tawaran-tawaran instant yang membuat orang terbuai dalam kenyamanan yang serba enak. Muncul istilah fasilitas itu kan karena orang ingin enak, mudah, cepat, syukur murah. Secara tak sadar hasrat mencari enak itu muncul dalam rumusan pertanyaannya: “Bagaimana enaknya ya untuk …..?”
Fase yang kedua adalah orang yang tolok ukurnya adalah kebaikan. Orang yang mindsetnya mencari kebaikan akan berupaya untuk melakukan hal-hal yang baik dengan cara yang baik pula. Salah satu yang baik itu adalah taat atau pun disiplin. Seorang pemuda yang baik dalam Injil Matius 19: 16-22 bertanya pada Yesus, “Guru, perbuatan baik apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus: ”Apa sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Kata orang itu kepada-Nya: ”Perintah yang mana?” Kata Yesus: ”Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata orang muda itu kepada-Nya: ”Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?” Kata Yesus kepadanya: ”Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Dari kisah di atas tampak bahwa ketaatan dan kedisiplinan itu belum sempurna, mungkin karena masih sekadar formalitas. Pokoknya tidak membunuh, pokoknya tidak berzinah, pokoknya tidak mencuri, pokoknya tidak berdusta, pokoknya menghormati ayah ibu, pokoknya mengasihi sesama. Meskipun itu baik, dan Yesus mengapresiasi itu juga baik, maka Ia mengajak ke level yang lebih tinggi yakni menuju ke kesempurnaan. ”Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”
Ternyata untuk ajakan menuju ke level kesempurnaan pemuda itu tak sanggup. Rupanya ia masih menjadi korban pepatah yang mengatakan: “Hati-hati dengan milikmu, jangan sampai berakhir apa yang kaumiliki, memilikimu”. Pepatah itu mewujud dalam diri pemuda kaya yang baik itu. Yesus memintanya untuk menjual segala miliknya dan memberikan kepada orang miskin, tetapi ia pergi dengan hati yang sedih sebab banyak hartanya. Pemuda itu telah dimiliki oleh miliknya.
Maka dalam tradisi Buddhis kelepasbebasan atau ketidak melekatan itu disimbolkan dengan boldness sehingga para bikhu ataupun bikhuni yang mau menuju ke kelepasan dari segala bentuk kemelekatan itu mencukur gundul kepalanya. Sementara para tertahbis maupun kaum biarawan dan biarawati dalam Gereja Katolik mengikhrarkan 3 kaul kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan demi menggapai kesempurnaan.
Pasalnya, kita di tataran mana: keenakan, kebaikan, atau kesempurnaan? Hanya diri sendiri dan Tuhan yang tahu sejujurnya kondisi kita masing-masing.