Batu Karang dan Batu Sandungan
Oleh: Arcadius Benawa
Menarik kiranya kalau kita membandingkan dua benda yang sama-sama berunsur batu: batu karang dan batu sandungan. Yang terlintas di benak kita tentang “batu karang” pastinya sesuatu yang besar, kokoh kuat menghadapi hantaman ombak di lautan. Sementara asosiasi kita mengenai batu sandungan adalah benda yang kecil, tidak mudah dilihat mata sehingga kalau tidak waspada kita bisa tersandung karenanya. Itu sebabnya disebut batu sandungan. Tidak ada orang yang tersandung oleh batu yang besar.
Di dalam Kitab Suci ada dua tokoh yakni Musa dari Kitab Suci Perjanjian Lama dan Petrus dari Kitab Suci Perjanjian Baru yang dikaitkan dengan “Batu Karang”. Musa dikaitkan dengan batu karang bukan dalam kaitannya dengan diri pribadinya, tetapi terkait dengan kondisi sulit yang harus ia hadapi. Musa harus menghadapi Umatnya yang bersungut-sungut karena merasa dicelakakan Musa yang telah membawa mereka keluar dari Mesir dan melintasi padang gurun. Mereka merasa lebih nyaman di Mesir karena tidak mengalami lapar dan haus sebagai orang buangan daripada menjadi orang merdeka dalam pimpinan Musa namun sengsara karena harus mati kelaparan dan kehausan di padang gurun. Dalam posisi terjepit menghadapi sungut-sungut umatnya, Musa diberi solusi yang dalam nalar Musa tidak mudah dimengerti, yakni agar Musa memukulkan tongkatnya ke batu karang agar dari batu karang itu mengalir air yang cukup untuk segenap umat dan ternak peliharaan mereka. Musa pun menjalankan perintah Tuhan itu dengan gerundelan. “Masakan aku harus memukul batu karang ini untuk menghasilkan air yang cukup untuk umat dan ternak mereka?” Memang demikianlah yang terjadi. Begitu Musa memukul batu karang besar itu dengan tongkatnya dua kali, mengalirlah air yang berlimpah sehingga cukup untuk seluruh umat dan ternak mereka. Dan Tuhanpun menghukum Musa dan Harun kata-Nya: “Karena kalian tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan orang Israel, maka kalian tidak akan membawa umat ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka” (Bilangan 20: 13).
Sementara Petrus dinyatakan sebagai batu karang ketika ia membiarkan dirinya digunakan Tuhan untuk menyatakan jatidiri Yesus sebagai Mesias. “Berbahagaianlah Engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkaulah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Matius 16:13)
Namun disayangkan bahwa sesaat setelah Petrus mendapat penilaian yang demikian positif, ia mendapat kritikan pedas dari Sang Guru, ketika Petrus menolak jalan yang akan dilalui oleh Sang Guru. “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu. Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” (Matius 16: 23). Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus, “Enyahlah iblis, Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau tidak memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Dari pengalaman kedua tokoh dari kedua zaman dapat ditarik kesimpulan bahwa ketokohan iman Musa dan Petrus terepresentasikan dalam gelar Batu Karang yang tegar justru karena membiarkan kuasa Tuhan yang bekerja. Sebaliknya mereka menjadi batu sandungan tatkala mereka tidak mengandalkan Tuhan dan lebih membiarkan nalar dan logikanya yang menguasai sikap mereka. Tuhan rupanya memberi kunci perkenan-Nya pada satu hal, yakni berani mengandalkan Tuhan dan tidak menenggelamkan pikiran dan nalar manusiawi yang lebih cenderung meragukan campur tangan kuasa Ilahi seperti pengalaman Musa sehingga ia dan Harun tidak diperkenankan masuk ke Tanah Terjanji. Dan menolak salib penderitaan untuk sampai pada jalan keselamatan atau penebusan, sehingga Petrus pun di-iblis-ibliskan Yesus karena ia lebih membiarkan dirinya dikuasai oleh pikiran manusia. Hal mana ini juga terjadi pada Musa dan Harun ketika meragukan kuasa Tuhan yang sanggup mengalirkan air yang melimpah dari batu karang.
Semoga kita menjadi batu karang dalam kehidupan yang sanggup mengalirkan kesegaran karena kita membiarkan diri bertutur kata, bersikap dan bertindak dalam tuntunan Tuhan, dan tidak oleh pikiran manusiawi kita yang cenderung mudah cemas dan gelisah.