Antara Meraih Visi Kebangsaan atau “Cukup Sampai Disini”

 Oleh: Markus Kurniawan

Setiap moment tujuh belas Agustusan di seluruh Indonesia akan diadakan banyak acara yang melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan. Acara-acara yang diadakan lebih menekankan kebersamaan dan keceriaan. Sebetulnya itulah makna semua perayaan tersebut, kebebasan. Kala masih dijajah jangan harap ada itu semua. Masyarakat senantiasa berada dibawah sorot tajam mata dan bedil para penjajah. Tahun ini kita sudah berusia 80 tahun menikmati kebebasan. Mayoritas masyarakat tidak mengalami hiruk pikuk perjuangan para pendahulu. Ketika lahir kita sudah langsung menghirup oksigen kemerdekaan.

Kemerdekaan, dalam pandangan Bung Karno, bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju cita-cita bangsa. Dalam pidato dihadapan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, ‘bung besar’ menegaskan bahwa kemerdekaan adalah “jembatan emas” menuju masyarakat yang adil dan makmur. Setelah merdeka barulah membangun masyarakat. Makna “jembatan emas” ini amat dalam. Sang proklamator mengingatkan bahwa kemerdekaan hanya memberi kita kesempatan, bukan otomatis menghadirkan kesejahteraan. Di sinilah kehendak rakyat menjadi penentu. Kemerdekaan tanpa kehendak kolektif rakyat untuk melanjutkan perjuangan akan berakhir pada fatalism bahkan kehancuran.

Frasa “cukup sampai di sini” dalam konteks politik bisa bermakna ganda. Di satu sisi, ia adalah pernyataan tegas untuk menghentikan ketidakadilan. Di sisi lain, ia dapat menjadi tanda berhentinya kemajuan—sebuah sikap puas diri yang berbahaya. Secara historis, banyak bangsa yang terjebak pada fase “cukup sampai di sini” setelah meraih kemerdekaan, lalu kehilangan daya dorong untuk membangun struktur ekonomi, politik, dan budaya yang tangguh. Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1968) mengingatkan, “The moment a people consents to stop making progress, it begins to decline.”
Artinya, masyarakat yang memilih berhenti memperjuangkan kemajuan sesungguhnya mulai menurun kualitasnya.           Indonesia pun pernah berada di persimpangan itu. Euforia kemerdekaan kadang membuat sebagian kelompok merasa tugas telah selesai. Padahal, visi masyarakat adil dan sejahtera tidak akan tercapai tanpa konsistensi dan keberanian untuk terus melangkah. Apakah masyarakat kita sedang berada dalam keadaan “cukup sampai disini?” Saya tidak berani menjawabnya, saya takut!

Sejarah memperlihatkan bahwa banyak peradaban besar runtuh bukan hanya karena tekanan yang berasal dari luar, tetapi juga karena kehilangan kemauan internal untuk maju. Arnold Toynbee, dalam A Study of History (1934) menyebut fenomena ini sebagai “petrifikasi” atau pengerasan, yaitu masyarakat yang membeku pada pencapaian tertentu, enggan berubah karena berpuas diri, merasa sudah cukup. Jika sikap “cukup sampai di sini” menjadi sikap kolektif, maka kita sedang membangun tembok pembatas di tengah jembatan emas Bung Karno, menghalangi diri sendiri mencapai seberangnya yaitu kesejahteraan masyarakat. Bung Karno sendiri, dalam pidato 17 Agustus 1945, menolak mentalitas ini: “Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengayunkan langkah, menempuh jalan di seberang jembatan emas itu.”. Sang Proklamator melihat kemerdekaan bukan puncak, melainkan titik tolak kemajuan. Masa depan bangsa harus diciptakan dan diraih.

Dalam konteks demokrasi modern, pemerintah dan rakyat memikul tanggung jawab bersama. Pemerintah bertugas menciptakan kebijakan yang memberi ruang tumbuh bagi semua masyarakat. Rakyat, di sisi lain, bertugas menjaga semangat kritis dan berpartisipasi aktif membangun dirinya. Frasa “cukup sampai di sini” baru layak diucapkan ketika ketidakadilan benar-benar dihentikan, bukan ketika kita memilih berhenti berjuang. Seperti diingatkan Nelson Mandela dalam Long Walk to Freedom (1994), bahwa setelah mendaki bukit yang tinggi, seseorang hanya akan menemukan bahwa ada banyak bukit lagi yang harus di daki.
Kemerdekaan adalah satu bukit; di depan masih banyak bukit yang menanti.

Visi kebangsaan Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945—masyarakat adil dan makmur—hanya akan terwujud jika kita menolak mentalitas “cukup sampai di sini” dalam arti negatif. Kita harus terus membangun jembatan emas itu sampai seberang, dengan kesadaran bahwa perjuangan bangsa adalah proses tanpa akhir.

Dalam bahasa Latin, para pemikir dan penulis klasik sering menutup argumentasinya dengan kata Hactenus (“sampai di sini”) sebagai transisi kebagian selanjutnya, bukan akhir. Begitu juga kita boleh berkata “cukup sampai di sini” untuk ketidakadilan, korupsi, dan kemiskinan, tetapi tidak untuk cita-cita kemerdekaan yang sejati dan visi kebangsaan yang terasa semakin jauh untuk digapai. Dirgahayu Indonesia.

Markus Kurniawan