All You Can Eat dan Budaya Konsumtif Masyarakat
Oleh: Markus Kurniawan
Dalam dunia kuliner kita mengenal tempat makan berkonsep All You Can Eat (AYCE). Tempat makan dengan konsep AYCE ini menjamur biasanya dikawasan perkotaan dan jamak dianggap sebagai simbol gaya hidup masa kini. Pelanggan dipersilakan makan sepuasnya, membayar satu harga untuk kenikmatan tanpa batas tentunya dengan waktu yang dibatasi.. Di balik aroma daging panggang dan tawa canda di meja makan, terselip pertanyaan mendasar: apakah ini hanya soal makanan, atau cerminan dari sesuatu yang lebih dalam, yakni budaya konsumtif yang selalu menuntut lebih?
Dalam bukunya Consuming Life, sosiolog dan filsuf Zygmunt Bauman menggambarkan masyarakat modern bukan lagi sebagai masyarakat pekerja, melainkan masyarakat konsumen (berlaku juga pada masyarakat postmodern). Menurutnya, “In a consumer society, the supreme commandment is to be happy—and the path to happiness is consumption.” (Cambridge: Polity Press, 2007. h 28).
Konsep AYCE bukan sekadar tentang perut kenyang, melainkan representasi dari kebebasan memilih tanpa batas. Pelanggan tidak hanya makan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, tetapi juga untuk menegaskan identitasnya sebagai konsumen aktif: bebas mengambil, bebas mencoba, bebas membuang. Di sinilah persoalan etis mulai muncul. Ketika makanan yang diambil melebihi yang dibutuhkan dan berakhir di tempat sampah, maka terjadi apa yang Bauman sebut sebagai ironi konsumerisme: “Consumer goods are designed to be thrown away—and so, increasingly, are the consumers themselves.” (Consuming Life, h 44).
Kebebasan mengambil sebanyak-banyaknya menciptakan ilusi kendali yang memberi karpet merah bagi manusia yang tidak pernah puas. Selera dibentuk oleh pasar, bukan oleh kebutuhan. Makan di tempat makan berkonsep AYCE sering kali lebih didorong oleh rasa “rugi” kalau tidak mencoba semua, daripada rasa lapar yang nyata. Ini sejalan dengan pengamatan Bauman bahwa “keinginan-keinginan baru terus diciptakan untuk menggantikan yang lama—atau untuk menghapus rasa tidak puas yang belum selesai.” (Consuming Life, h 52).
Dalam Liquid Modernity, Bauman menyebut bahwa hidup dalam dunia modern-yang dilanjutkan ke tahap postmodern- bersifat cair, tidak ada yang tetap, semua berubah cepat. Hubungan, nilai, dan selera menjadi cepat basi. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang yang baru saja makan banyak bisa dengan mudah tergoda mencoba dessert, hanya karena “ada” dan “termasuk harga”. (Cambridge: Polity Press, 2000, h. 14). Dalam logika konsumerisme, tidak memanfaatkan semua yang ditawarkan berarti rugi. Maka, rakus menjadi wajar, dan kenyang menjadi kabur batasnya, tidak heran jika kekenyangan menjadi biasa setelah makan berkonsep AYCE. Yang dimakan bukan yang dibutuhkan tubuh namun yang diinginkan.
Namun, yang paling mengganggu bukan hanya soal perut, melainkan juga masalah limbah dan ketimpangan sosial. Ketika satu pihak membuang makanan ada pihak lain tidak bisa makan sama sekali. Bauman dalam Wasted Lives menyatakan bahwa modernitas (termasuk gaya hidup konsumeristiknya) secara sistematis menghasilkan “limbah manusia” dan limbah sosial (Wasted Lives: Modernity and Its Outcasts:Cambridge: Polity Press, 2004, h 6). Model AYCE menjadi salah satu simbol dari ketidakadilan tersebut: kelimpahan yang berujung pemborosan di satu sisi, dan kelangkaan makanan di sisi lain. Bauman ada benarnya sekalipun bukan tanpa kritik.
Frank Furedi, seorang sosiolog dalam tulisannya How Fear Works (2006), menilai bahwa Bauman terlalu pesimistis terhadap modernitas. Menurut Furedi, konsumerisme juga bisa menjadi sarana ekspresi dan pembebasan, bukan semata-mata kehampaan (How Fear Works: Culture of Fear in the Twenty-First Century: London: Bloomsbury, 2006). Colin Campbell dalam The Romantic Ethic and the Spirit of Modern Consumerism (Oxford: Blackwell, h 78-85, 1987) berargumen bahwa keinginan konsumtif tidak selalu berasal dari pasar (yang anonim), melainkan dari fantasi dan imajinasi kreatif individu yang ingin menjalani gaya hidup tertentu. Artinya, manusia tetap memiliki peran besar dalam memilih (bahkan sebagai penentu), manusia tidak selamanya pasif dalam arus konsumerisme seperti yang dituduhkan Bauman. Keith Tester berpandangan bahwa Bauman hampir tidak pernah menawarkan solusi yang konkret atau dapat dijalankan. Bauman lebih banyak mengajak pembaca untuk merefleksikan krisis moral zaman modern, tetapi tidak memberikan jalan keluar yang sistematis (The Social Thought of Zygmunt Bauman (London: Palgrave Macmillan, h 119-121, 2004).
Apakah dengan semua kritik yang ada, kita harus menolak konsep AYCE? Tidak perlu ditolak karena permintaan tetap ada bahkan tinggi, dan menciptakan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan masyarakat. Tapi perlu ada kesadaran etis bahwa konsumsi bukan sekadar hak, tapi juga tanggung jawab. Dalam konteks tulisan ini kita bisa menggunakan ajaran filsuf Immanuel Kant tentang maxim. Maxim adalah prinsip subjektif kehendak, di mana subjek bertindak atas dasar prinsip tersebut (Groundwork of the Metaphysics of Morals, 1785). Ini merupakan prinsip subjektif sebuah tindakan, singkatnya, aturan pribadi yang ditetapkan oleh seseorang bagi dirinya sendiri ketika memutuskan untuk berbuat sesuatu. Secara imperatif kategoris, rumusan yang terkenal tersebut mengatakan :“Bertindaklah sedemikian rupa hanya menurut prinsip yang dengannya engkau -pada saat yang sama- dapat menghendaki ia (prinsip tersebut) menjadi hukum universal”. Jika semua orang mengambil lebih dari yang bisa ia habiskan, dunia akan tenggelam dalam limbah dan ketidakadilan akut.
Pihak rumah makan diharapkan berperan aktif, mis, dengan memberlakukan denda untuk makanan yang tersisa, menyumbangkan sisa layak makan, atau memberi edukasi kepada konsumen. Di beberapa tempat berkonsep AYCE akan dikenai denda jika menyisakan makanan, tapi jumlahnya masih lebih sedikit dibanding yang membiarkan hal itu terjadi. Konsumen pun bisa bersikap bijak: mengambil secukupnya, mencoba seperlunya, dan mengubah pola pikir dari “ambil sebanyak mungkin karena sudah membayar” menjadi “ambil yang dibutuhkan”, dari perspektif “untung-rugi” menjadi “kebutuhan-keinginan”.
Kritik Bauman bukan sekadar tentang restoran atau makanan. Ia menggugat kita sebagai manusia (baik pada era modern juga postmodern) yang semakin kehilangan kendali atas keinginan. Ia menantang kita untuk sadar bahwa hidup yang baik bukanlah hidup yang dipenuhi oleh segala keinginan, tapi hidup yang dijalani dengan kesadaran akan adanya batas, tanggung jawab, dan solidaritas. Kritik Bauman juga mengena pada sasaran perilaku yang lebih luas.