Abolisi dan Amnesti: Antara Keadilan Hukum dan Kepentingan Nasional

Oleh: Sigit Pandu C S.Pd.,M.Pd

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terdapat prinsip bahwa hukum harus ditegakkan demi menciptakan ketertiban dan keadilan. Namun, dalam kondisi tertentu, negara juga memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan atau menghentikan proses hukum melalui kebijakan yang disebut abolisi dan amnesti. Keduanya merupakan instrumen hukum yang termasuk dalam hak prerogatif Presiden Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Abolisi dan amnesti sering kali dikaitkan dengan kepentingan nasional yang lebih besar, misalnya menjaga stabilitas politik, mengakhiri konflik, atau mendorong rekonsiliasi nasional. Namun, penggunaan kewenangan ini tidak lepas dari perdebatan, baik dari sisi hukum, etika, maupun politik. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami pengertian, dasar hukum, fungsi, dan potensi tantangan dari kebijakan abolisi dan amnesti dalam konteks negara demokratis. Abolisi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga melakukan tindak pidana, sebelum perkara tersebut masuk ke pengadilan. Artinya, proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan dihentikan secara sah. Abolisi tidak menghapus status bersalah atau tidak bersalah, tetapi menghentikan proses hukum demi kepentingan yang lebih besar.

Sementara itu, amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada individu atau kelompok yang telah melakukan tindak pidana tertentu, umumnya berkaitan dengan kejahatan politik, sehingga mereka dibebaskan dari segala akibat hukum atas tindakannya. Amnesti bersifat menyeluruh dan berskala luas. Dalam sejarah Indonesia, amnesti telah diberikan dalam berbagai momentum politik, seperti kepada para tahanan politik pasca pemberontakan atau konflik ideologi.

Secara konstitusional, dasar hukum dari amnesti dan abolisi tercantum dalam Pasal 14 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Ini menunjukkan bahwa pemberian kedua kebijakan tersebut tidak bisa dilakukan secara sepihak, tetapi harus melewati proses konsultasi politik sebagai bentuk checks and balances.Pemberian amnesti dan abolisi memiliki tujuan yang erat kaitannya dengan kondisi sosial-politik suatu negara. Dalam banyak kasus, amnesti diberikan sebagai bentuk rekonsiliasi nasional, terutama pasca konflik internal, perang saudara, atau transisi pemerintahan. Misalnya, setelah peristiwa G30S/PKI, pemerintah memberikan amnesti kepada sebagian tahanan politik sebagai upaya untuk mengembalikan kondisi sosial yang lebih stabil. Abolisi, di sisi lain, lebih sering digunakan untuk mencegah ketegangan politik atau konflik hukum yang berkepanjangan, terutama jika proses hukum tersebut dinilai tidak memberikan manfaat bagi keadilan sosial. Misalnya, jika suatu kasus pidana politis menimbulkan potensi kerusuhan atau perpecahan, Presiden dapat mengusulkan abolisi untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas terhadap masyarakat.

Dengan kata lain, kedua kebijakan ini menjadi semacam “jembatan damai” antara hukum dan politik. Mereka menjadi alat yang dapat digunakan negara untuk mengutamakan kepentingan umum, ketenteraman, dan persatuan nasional di atas pertimbangan hukum yang bersifat individual. Meskipun memiliki niat baik, kebijakan abolisi dan amnesti tidak lepas dari berbagai kritik. Salah satu kritik utama adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Jika tidak dikontrol dengan baik, amnesti bisa digunakan untuk melindungi kroni politik atau menghapus hukuman bagi pelaku kejahatan serius, termasuk pelanggaran HAM. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan.

Kritik lainnya muncul dari kalangan korban dan masyarakat sipil. Mereka khawatir bahwa amnesti dapat mengabaikan hak-hak korban, terutama jika tidak diiringi dengan proses keadilan transisional seperti pengakuan kesalahan, permintaan maaf publik, atau pemberian kompensasi. Dalam konteks ini, amnesti bisa dianggap sebagai bentuk impunitas atau pembiaran terhadap pelanggaran hukum. Demikian pula, abolisi bisa menjadi alat politik jika digunakan untuk menyelamatkan tokoh tertentu dari proses hukum demi kepentingan kelompok atau partai tertentu. Oleh karena itu, pengawasan publik dan DPR menjadi sangat penting dalam menjaga agar pemberian abolisi dan amnesti tetap berada dalam koridor hukum, keadilan, dan kepentingan rakyat.

Abolisi dan amnesti adalah bagian dari kebijakan hukum yang penting dalam tata negara Indonesia. Keduanya memberikan fleksibilitas kepada pemerintah dalam menangani masalah hukum yang bersifat luar biasa atau berkaitan dengan stabilitas negara. Namun, pelaksanaan keduanya harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan dengan memperhatikan prinsip keadilan, agar tidak menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang baik mengenai mekanisme dan alasan pemberian amnesti dan abolisi. Pemerintah juga perlu menjamin bahwa kebijakan ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Dalam jangka panjang, penggunaan abolisi dan amnesti seharusnya menjadi jalan menuju rekonsiliasi, perdamaian, dan keadilan, bukan alat untuk melanggengkan kekuasaan atau melindungi pelanggar hukum.

Sigit Pandu C S.Pd.,M.Pd