Menumbuhkan Karakter Kebangsaan Sejak Dini  Dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah  

Oleh: Petrus Hepi Witono

 “Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire.” – William Butler Yeats, The Collected Poems of W.B. Yeats

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) bukan sekadar rutinitas administratif di awal tahun ajaran atau sekadar ajang mengenalkan gedung dan guru. MPLS sesungguhnya merupakan momen sakral yang mengandung makna filosofis dalam membentuk watak dan karakter kebangsaan siswa. Jika dilihat dari perspektif Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila, MPLS bisa menjadi fondasi penting dalam merawat nilai-nilai kemanusiaan, gotong royong, dan semangat persatuan sejak hari pertama menginjak bangku kelas baru.

Seringkali kita menganggap MPLS hanya cocok dilaksanakan bagi siswa baru di jenjang baru. Namun, bagaimana jika MPLS dilakukan setiap awal semester ketika siswa naik kelas? Dalam kerangka ini, MPLS bukan hanya tentang mengenalkan ruang dan aturan, tetapi tentang menyegarkan kembali semangat belajar, memperkuat identitas kebangsaan, dan memperdalam nilai-nilai Pancasila. Setiap perpindahan kelas adalah proses pembaruan diri, dan MPLS dapat menjadi ruang refleksi bersama: tentang siapa kita sebagai warga sekolah, warga masyarakat, dan warga negara.

Pendidikan karakter tidak tumbuh seketika. Ia dibentuk melalui keteladanan, pengalaman, dan penguatan nilai-nilai luhur. Maka dari itu, guru, kepala sekolah, staf, bahkan siswa senior harus terlibat aktif dalam MPLS yang edukatif, ramah, dan bermakna. Mereka menjadi agen nilai—penyampai semangat integritas, empati, disiplin, dan toleransi. Di sinilah peran Pendidikan Pancasila menemukan ruang praktiknya: tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupkan dalam interaksi nyata di sekolah.

Lalu, apakah orang tua boleh terlibat? Jawabannya: sangat perlu. Sekolah dan keluarga bukan dua kutub yang terpisah. Melibatkan orang tua dalam MPLS, misalnya melalui sesi dialog atau refleksi nilai bersama, dapat mempererat sinergi antara pendidikan di rumah dan di sekolah. Anak-anak pun akan merasakan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk dihidupi bersama keluarga dan masyarakat.

Yang perlu digarisbawahi: MPLS bukan perpeloncoan yah. Saya anti dengan perpeloncoan. Dalam pendekatan modern, perpeloncoan adalah bentuk kekerasan laten yang merusak karakter, bukan membentuknya. MPLS yang sejati menolak kekerasan dan lebih memilih pendekatan humanis, partisipatif, dan inspiratif. Inilah esensi pendidikan sejati: membentuk manusia yang berpikir, merasa, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang hidup dalam Pancasila.

Petrus Hepi Witono